Pengurangan
Subsidi BBM dan Amandemen UUD 1945
Pada
acara Saresehan Anak Negeri bertajuk "Runtuhnya Kedaulatan Energi" yang
ditayangkan MetroTV 9 Februari lalu. Mayoritas peserta yang terdiri dari seratus
tokoh nasional sepakat kebijakan penghapusan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak)
menunjukan bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak lagi berdaulat.
Langkan
yang ditempuh presiden SBY menandatangani Perpres No 15 Tahun 2012 yang akan
menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM), termasuk mengurangi secara bertahap subsidi
BBM, tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang ekonomi semata-mata, namun
juga dari aspek politik.
Skenario
penghapusan subsidi BBM dimulai sejak Presiden Soeharto menandatangai Letter of
Intent (LoI) dengan dana moneter international, kemuian belanjut dengan
disahkanya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No.22 tahun 2001.
UU
Migas merupakan titik dimulainya program liberalisasi sektor migas, yang
mendorong dimungkinkannya swasta asing menguasai industri migas dalam negeri
dari hulu hingga hilir.
Dihulu,
84 persen cadangan Migas dalam negeri dikuasai oleh korporasi asing, dengan
rincian Chevron (44%), Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen),
Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5
persen), China National Petroleum
Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy
masing-masingnya satu persen, sisanya sekitar 16 persen dikuasai oleh
Pertamina.
Sementara
dihilir, sejak disahkanya UU Migas, seperti jamur dimusim penghujan, SPBU (Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum) milik
swasta asing seperti Total, Shell, dan Petronas berdiri diberbagai kota besar
Indonesia.
Dari
sini tampak UU 22/2001 telah menempatkan sekor Migas hanya sebagai komoditi
komersil, bukan komiditi strategis, yang harus dikuasai oleh negara dan
dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Ketika Migas menjadi
komoditi komersial, pemerintah terkesan lepas tangan karena harga BBM dalam
negeri ditentukan oleh harga keekonomiannya, yang sama artinya ditentukan oleh mekanisme
pasar.
Membiarkan
harga BBM ditentukan mekanisme pasar, membuat perekonomian berjalan tanpa
kendali (restraint). Perekonomian semacam
ini bahkan tidak kehendaki oleh Adam Smith—pelopor ekonomi klasik—yang menjadi
panutan para pengambil kebijakan di Indonesia.
Dalam
satu tulisannya Adam Smith berkata “seseorang dapat dipercaya untuk meraih
kepentingan pribadinya (self interest)
tanpa merugikan masyarakat bukan hanya karena batasan-batasan hukum, tetapi
juga karena adanya pengendalian diri (self
restraint) yang berasal dari moral, agama, kebiasaan, dan pendidikan”.
Adam
Smith tetap mendukung masih perlunya intervensi negara, dan tidak membiarkan
perekonomian diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar (invisible hand) yang
akan membuat keseimbangan baru (equilibrium).
Begitu juga cita-cita para Founding Father ketika merumuskan konstitusi dasar
republik ini 66 tahun silam.
Dan
para peserta sarasehan—yang mungkin dahulu ada diantaranya terlibat dalam
perumusan UU migas—kemudian berkesimpulan kebijakan pengurangan subsidi yang
didorong oleh UU 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945 terutama pasal 33 pasal 2
yang berbunyi: “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang
menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”
Namun
mereka agaknya sedikit lupa bahwa pasal 33 UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen), termasuk dihapuskan bagian
penjelas pada pasal tersebut. Pengertian kata “dikuasai negara” dengan
sederhana ditafsirkan Mahkamah Konstitusi, bahwa rakyat secara kolektif
memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Artinya
pemerintah hanya sebagai kuasa pertambangan dan regulator sehingga tidak
diperbolehkan melakukan usaha investasi hulu dan hilir, dengan demikian pasal UU
Migas sama sekali tidak bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945.
Namun
jika kita merujukan pada dokumen Panitia Keuangan dan Perekonomian, sebuah
panitia bentukan BPUPKI yang diketuai Mohammad Hatta, merumuskan kata
“dikuasai” adalah pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan
berpedoman keselamatan rakyat; semakin besarnya perusahaan dan semakin
banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar
mestinya penyertaan pemerintah; tanah air haruslah dibawah kekuasaan negara;
dan perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.
Jelas
bahwa yang dimaksud oleh para founding
father dalam pasal ini, sektor pertmbangan dan perusahaan tambang yang
besar harus dikuasai, dikelola dan jalankan oleh Badan Usaha Milik Negara
(BUMN). Namun tafsir seperti ini tidak berlaku lagi sejak pasal 33 diamandemen
tahun 2002 lalu.
Bila
peserta sarasehan ingin mengembalikan kedaulatan negara, dan cabang-cabang
produksi penting bagi negara digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat, maka yang perlu dilakukan adalah mendorong amandemen kelima UUD 1945
yang bersifat menyeluruh, termasuk mengembalikan pasal 33 dengan segala
penjelasannya.
Dewan
perwakilan Daerah (DPD) telah menginisasi amandemen UUD 1945, kini bersediakan
para tokoh nasional lainnya bergandengan tangan mewujudkan perubahan itu? (dimuat " SINAR HARAPAN", Jakarta 02 Maret 2012).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar