Senin, 19 Maret 2012

OPINI

Pengurangan Subsidi BBM dan Amandemen UUD 1945




 
Oleh: Djasarmen Purba.SH



Pada acara Saresehan Anak Negeri bertajuk "Runtuhnya Kedaulatan Energi" yang ditayangkan MetroTV 9 Februari lalu. Mayoritas peserta yang terdiri dari seratus tokoh nasional sepakat kebijakan penghapusan subsidi BBM (Bahan Bakar Minyak) menunjukan bahwa sebagai sebuah bangsa, Indonesia tidak lagi berdaulat.

Langkan yang ditempuh presiden SBY menandatangani Perpres No 15 Tahun 2012 yang akan menaikkan Bahan Bakar Minyak (BBM), termasuk mengurangi secara bertahap subsidi BBM, tidak bisa dilihat hanya dari sudut pandang ekonomi semata-mata, namun juga dari aspek politik.

Skenario penghapusan subsidi BBM dimulai sejak Presiden Soeharto menandatangai Letter of Intent (LoI) dengan dana moneter international, kemuian belanjut dengan disahkanya Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) No.22 tahun 2001.

UU Migas merupakan titik dimulainya program liberalisasi sektor migas, yang mendorong dimungkinkannya swasta asing menguasai industri migas dalam negeri dari hulu hingga hilir. 

Dihulu, 84 persen cadangan Migas dalam negeri dikuasai oleh korporasi asing, dengan rincian Chevron (44%), Total E&P (10 persen), Conoco Phillips (8 persen), Medco Energy (6 persen), China National Offshore Oil Corporation (5 persen),  China National Petroleum Corporations (2 persen), British Petroleum, Vico Indonesia, dan Kodeco Energy masing-masingnya satu persen, sisanya sekitar 16 persen dikuasai oleh Pertamina.

Sementara dihilir, sejak disahkanya UU Migas, seperti jamur dimusim penghujan,  SPBU (Stasiun Pengisian Bahanbakar Umum) milik swasta asing seperti Total, Shell, dan Petronas berdiri diberbagai kota besar Indonesia.

Dari sini tampak UU 22/2001 telah menempatkan sekor Migas hanya sebagai komoditi komersil, bukan komiditi strategis, yang harus dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat. Ketika Migas menjadi komoditi komersial, pemerintah terkesan lepas tangan karena harga BBM dalam negeri ditentukan oleh harga keekonomiannya, yang sama artinya ditentukan oleh mekanisme pasar.

Membiarkan harga BBM ditentukan mekanisme pasar, membuat perekonomian berjalan tanpa kendali (restraint). Perekonomian semacam ini bahkan tidak kehendaki oleh Adam Smith—pelopor ekonomi klasik—yang menjadi panutan para pengambil kebijakan di Indonesia.

Dalam satu tulisannya Adam Smith berkata “seseorang dapat dipercaya untuk meraih kepentingan pribadinya (self interest) tanpa merugikan masyarakat bukan hanya karena batasan-batasan hukum, tetapi juga karena adanya pengendalian diri (self restraint) yang berasal dari moral, agama, kebiasaan, dan pendidikan”.

Adam Smith tetap mendukung masih perlunya intervensi negara, dan tidak membiarkan perekonomian diserahkan sepenuhnya pada mekanisme pasar (invisible hand) yang akan membuat keseimbangan baru (equilibrium). Begitu juga cita-cita para Founding Father ketika merumuskan konstitusi dasar republik ini 66 tahun silam.

Dan para peserta sarasehan—yang mungkin dahulu ada diantaranya terlibat dalam perumusan UU migas—kemudian berkesimpulan kebijakan pengurangan subsidi yang didorong oleh UU 22/2001 bertentangan dengan UUD 1945 terutama pasal 33 pasal 2 yang berbunyi: “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.”

Namun mereka agaknya sedikit lupa bahwa pasal 33 UUD 1945 telah mengalami perubahan (amandemen), termasuk dihapuskan bagian penjelas pada pasal tersebut. Pengertian kata “dikuasai negara” dengan sederhana ditafsirkan Mahkamah Konstitusi, bahwa rakyat secara kolektif memberikan mandat kepada negara untuk mengadakan kebijakan (beleid) dan tindakan pengurusan (bestuursdaad), pengaturan (regelendaad), pengelolaan (beheersdaad) dan pengawasan (toezichthoudensdaad) untuk tujuan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Artinya pemerintah hanya sebagai kuasa pertambangan dan regulator sehingga tidak diperbolehkan melakukan usaha investasi hulu dan hilir, dengan demikian pasal UU Migas sama sekali tidak bertentangan dengan pasal 33 UUD 1945.

Namun jika kita merujukan pada dokumen Panitia Keuangan dan Perekonomian, sebuah panitia bentukan BPUPKI yang diketuai Mohammad Hatta, merumuskan kata “dikuasai” adalah pemerintah harus menjadi pengawas dan pengatur dengan berpedoman keselamatan rakyat; semakin besarnya perusahaan dan semakin banyaknya jumlah orang yang menggantungkan dasar hidupnya karena semakin besar mestinya penyertaan pemerintah; tanah air haruslah dibawah kekuasaan negara; dan perusahaan tambang yang besar dijalankan sebagai usaha negara.

Jelas bahwa yang dimaksud oleh para founding father dalam pasal ini, sektor pertmbangan dan perusahaan tambang yang besar harus dikuasai, dikelola dan jalankan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Namun tafsir seperti ini tidak berlaku lagi sejak pasal 33 diamandemen tahun 2002 lalu.

Bila peserta sarasehan ingin mengembalikan kedaulatan negara, dan cabang-cabang produksi penting bagi negara digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, maka yang perlu dilakukan adalah mendorong amandemen kelima UUD 1945 yang bersifat menyeluruh, termasuk mengembalikan pasal 33 dengan segala penjelasannya.

Dewan perwakilan Daerah (DPD) telah menginisasi amandemen UUD 1945, kini bersediakan para tokoh nasional lainnya bergandengan tangan mewujudkan perubahan itu? (dimuat " SINAR HARAPAN", Jakarta 02 Maret 2012).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar