Meraba Tantangan Ekonomi di 2011
Oleh:
Djasarmen Purba.SH
Meningkatnya aliran masuk modal asing sepanjang 2010 menimbulkan tantangan
kebijakan bagi Indonesia. Pada jangka pendek, Indonesia masih tetap rentan
terhadap goncangan yang merusak sentimen investor.
Bank Indonesia (BI) telah menjalankan serangkaian upaya kebijakan
kehati-hatian untuk memindahkan aliran dana investasi menuju ke arah yang lebih
stabil. Pada bulan Juni diumumkan jangka waktu penyimpanan minimum Bank Indonesia
Sertifikat (SBI) selama minimum 1 bulan, berlaku bagi investor dalam maupun
luar negeri.
Sebelumnya BI mengganti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan Term Deposit
bertenor tiga, enam dan dua belas bulan untuk mengendalikan dana asing yang
deras masuk ke pasar modal dalam negeri.Term Deposit adalah instrumen moneter
di luar surat berharga (non-securities) yang bisa dibeli oleh bank umum, tapi tidak
bisa diperjualbelikan di pasar sekunder kecuali kepada BI.
Di bulan Desember keputusan kebijakan moneter BI mengeluarkan pengendalian giro
wajib minimum dalam valuta asing dan rekening vostro (rekening giro rupiah yang
dimiliki oleh pihak asing pada bank-bank domestik).
Derasnya hot money ke emerging
economic terutama dikawasan Asia,
termasuk Indonesia, akibat belum pulihnya perekonomian Amerika dan Eropa, telah
menimbulkan kekhawatiran BI pada sudden
reversal (pembalikan dana secara tiba-tiba) yang mengembosi pasar dalam
negeri.
Bubble IHSG
Tingkat pengembalian modal (Return on equity/ROE) IHSG yang mencapai 29,6%,
dan merupakan yang tertinggi di ASEAN, atau menempati posisi kedua diantara
negara-negara paling berkembang—satu tingkat dibawah China yang memberikan ROE
30,2%—menjadi daya tarik tersendiri bagi asing. Saat ini komposisi kepemilikan
asing di pasar modal Indonesia lebih dari 66,7 persen atau senilai 125,891
miliar dolar AS dari total nilai saham
di pasar modal, sisanya 62,9 miliar (33,3 persen) dimiliki investor lokal.
Dominasi asing memicu IHSG melaju kencang ke level kisaran 3,599 - 3,600
dalam beberapa pekan terakhir, dikhawatirkan menimbulkan bubble (gelembung) mengingat
saat ini rasio harga terhadap laba bersih
atau P/E IHSG mencapai 15-17 kali.
Pada situasi seperti ini ketakutan pada sudden
reversal semakin terbuka menyusul akan jatuh temponya penyesuaian bunga
kredit ALT-A dan Option-ARMs di Amerika pada tahun depan.
ALT-A dan Option-ARMs merupakan varian dari produk kredit perumahan yang
ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah di Amerika
Serikat yang digolongkan kredit Ninja (No Income, No Job and Asset) dan
beresiko tinggi untuk default, dengan fasilitas pembebasan kepada nasabah untuk
membayar cicilan selama 5 tahun pertama, dan tahun selanjutnya dikenakan
penyesuaian bunga secara berkala dengan rata-rata kenaikan suku bunga mencapai
80%.
Nilai produk ALT-A dan Option-ARMs jauh lebih besar dibandingkan subprime
mortgage ang menajdi peyebab krisis tahun 2008. Nilai Subprime hanya sebesar
US$ 1,5 triliun, sedangkan nilai AlT-A US$ 2,5 triliun dan Option ARM sebesar
US$ 500 miliar.
Ditengah pemulihan ekonomi yang berjalan lamban dan tingkat daya beli
masyarakat yang masih relatif rendah, potensi terjadinya gagal bayar pada
konsumen kedua produk tersebut menghantui perbankan Amerika Serikat.
Empat bank besar Amerika
Serikat; Bank of America Corp, JPMorgan
Chase & Co, Citigroup Inc, dan Wells Fargo & Co, telah menyatakan akan
pembelian pembelian kembali kredit senilai US$180 miliar. Disamping keempat bank itu sejumlah bank lain
berencana melakukan hal serupa.
Lembaga pemeringkat, Fitch Ratings dalam laporannya, menulis; pada skenario
terburuk, nilai kredit yang akan diminta nasabah untuk dibeli kembali akan
melampaui US$175 miliar. Sedang pada skenario moderat, bank-bank diperkirakan
membeli kembali 35% kredit dan mendapatkan kembali 55% danannya, sehingga
kerugian bisa mencapai kisaran US$27 miliar. Untuk skenario ringan, 25% kredit
dapat dibeli kembali dan 60% dana kembali diperoleh, sehingga kerugian bank
ditaksir berkisar US$17 miliar.
Akibat gagal bayar ALT-A dan Options-ARMs,
Goldman Sachs Group Inc memprediksi, perekonomian AS akan mengalami fase
“buruk” atau “sangat buruk” dalam enam
hingga sembilan bulan ke depan. Untuk kategori buruk, ekonomi AS akan tumbuh di
kisaran 1,5%-2% hingga pertengahan tahun depan dan tingkat pengangguran akan
naik menjadi 10%. Sementara, prediksi terburuk, perekonomian AS kembali
terjungkal ke jurang resesi.
Krisis
Kendati demikian resesi ini dapat dicegah, jika dana-dana yang diparkir di
emerging economic dapat ditarik kembali untuk memenuhi likuiditas ke dalam
negeri tersebut. Guna membuat menarik kembali dana-dana tersebut sejumlah bank sentral
di negara-negara maju akan menaikan suku bunganya.
Vibiz Consulting Alfred Pakasi memprediksi pada tahun depan dana asing yang
banyak parkir di emerging economic akan kembali ke negara asalnya menyusul langka
perbankan seperti the Fed menaiknya suku bunganya.
Terlebih harga saham dan obligasi di
Indonesia yang sudah dikerek sangat tinggi, dapat membuat investor tergerak
untuk melakukan aksi ambil untung (profit
taking) sehingga menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik
(harga turun) dan kurs rupiah melemah, likuiditas terkuras, pasar dalam negeri rontok, dan resesi
akhirnya menyapa Indonesia seperti di
tahun 1998.
Tampaknya enam paket kebijakan moneter Juni dan rencana BI menganti SBI
dengan Term Deposit adalah cara halus dari capital control yang bertujuan agar
dana asing tidak lagi bisa leluasa bermain di instrumen keuangan dalam negeri dan
terus-terusan membengkak kepemilikannya. BI telah memberikan sinyal kuat
tentang bahaya ekonomi di tahun depan. ”tidak ada pesta yang tidak berakhir”
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar