Jumat, 30 Maret 2012

OPINI


Meraba Tantangan Ekonomi di 2011
 

Oleh: Djasarmen Purba.SH


Meningkatnya aliran masuk modal asing sepanjang 2010 menimbulkan tantangan kebijakan bagi Indonesia. Pada jangka pendek, Indonesia masih tetap rentan terhadap goncangan yang merusak sentimen investor.

Bank Indonesia (BI) telah menjalankan serangkaian upaya kebijakan kehati-hatian untuk memindahkan aliran dana investasi menuju ke arah yang lebih stabil. Pada bulan Juni diumumkan jangka waktu penyimpanan minimum Bank Indonesia Sertifikat (SBI) selama minimum 1 bulan, berlaku bagi investor dalam maupun luar negeri.

Sebelumnya BI mengganti Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dengan Term Deposit bertenor tiga, enam dan dua belas bulan untuk mengendalikan dana asing yang deras masuk ke pasar modal dalam negeri.Term Deposit adalah instrumen moneter di luar surat berharga (non-securities) yang bisa dibeli oleh bank umum, tapi tidak bisa diperjualbelikan di pasar sekunder kecuali kepada BI.

Di bulan Desember keputusan kebijakan moneter BI mengeluarkan pengendalian giro wajib minimum dalam valuta asing dan rekening vostro (rekening giro rupiah yang dimiliki oleh pihak asing pada bank-bank domestik).

Derasnya hot money ke emerging economic terutama  dikawasan Asia, termasuk Indonesia, akibat belum pulihnya perekonomian Amerika dan Eropa, telah menimbulkan kekhawatiran BI pada sudden reversal (pembalikan dana secara tiba-tiba) yang mengembosi pasar dalam negeri.


Bubble IHSG

Tingkat pengembalian modal (Return on equity/ROE) IHSG yang mencapai 29,6%, dan merupakan yang tertinggi di ASEAN, atau menempati posisi kedua diantara negara-negara paling berkembang—satu tingkat dibawah China yang memberikan ROE 30,2%—menjadi daya tarik tersendiri bagi asing. Saat ini komposisi kepemilikan asing di pasar modal Indonesia lebih dari 66,7 persen atau senilai 125,891 miliar dolar AS  dari total nilai saham di pasar modal, sisanya 62,9 miliar (33,3 persen) dimiliki investor lokal.

Dominasi asing memicu IHSG melaju kencang ke level kisaran 3,599 - 3,600 dalam beberapa pekan terakhir, dikhawatirkan menimbulkan bubble (gelembung) mengingat saat ini rasio harga terhadap laba bersih  atau P/E IHSG mencapai 15-17 kali.

Pada situasi seperti ini ketakutan pada sudden reversal semakin terbuka menyusul akan jatuh temponya penyesuaian bunga kredit ALT-A dan Option-ARMs di Amerika pada tahun depan.

ALT-A dan Option-ARMs merupakan varian dari produk kredit perumahan yang ditujukan kepada masyarakat berpenghasilan rendah dan menengah di Amerika Serikat yang digolongkan kredit Ninja (No Income, No Job and Asset) dan beresiko tinggi untuk default, dengan fasilitas pembebasan kepada nasabah untuk membayar cicilan selama 5 tahun pertama, dan tahun selanjutnya dikenakan penyesuaian bunga secara berkala dengan rata-rata kenaikan suku bunga mencapai 80%.

Nilai produk ALT-A dan Option-ARMs jauh lebih besar dibandingkan subprime mortgage ang menajdi peyebab krisis tahun 2008. Nilai Subprime hanya sebesar US$ 1,5 triliun, sedangkan nilai AlT-A US$ 2,5 triliun dan Option ARM sebesar US$ 500 miliar.

Ditengah pemulihan ekonomi yang berjalan lamban dan tingkat daya beli masyarakat yang masih relatif rendah, potensi terjadinya gagal bayar pada konsumen kedua produk tersebut menghantui perbankan Amerika Serikat.

Empat bank besar Amerika Serikat;  Bank of America Corp, JPMorgan Chase & Co, Citigroup Inc, dan Wells Fargo & Co, telah menyatakan akan pembelian pembelian kembali kredit senilai US$180 miliar. Disamping keempat bank itu sejumlah bank lain berencana melakukan hal serupa.

Lembaga pemeringkat, Fitch Ratings dalam laporannya, menulis; pada skenario terburuk, nilai kredit yang akan diminta nasabah untuk dibeli kembali akan melampaui US$175 miliar. Sedang pada skenario moderat, bank-bank diperkirakan membeli kembali 35% kredit dan mendapatkan kembali 55% danannya, sehingga kerugian bisa mencapai kisaran US$27 miliar. Untuk skenario ringan, 25% kredit dapat dibeli kembali dan 60% dana kembali diperoleh, sehingga kerugian bank ditaksir berkisar US$17 miliar.

Akibat gagal bayar ALT-A dan Options-ARMs,  Goldman Sachs Group Inc memprediksi, perekonomian AS akan mengalami fase “buruk” atau “sangat  buruk” dalam enam hingga sembilan bulan ke depan. Untuk kategori buruk, ekonomi AS akan tumbuh di kisaran 1,5%-2% hingga pertengahan tahun depan dan tingkat pengangguran akan naik menjadi 10%. Sementara, prediksi terburuk, perekonomian AS kembali terjungkal ke jurang resesi.

Krisis

Kendati demikian resesi ini dapat dicegah, jika dana-dana yang diparkir di emerging economic dapat ditarik kembali untuk memenuhi likuiditas ke dalam negeri tersebut. Guna membuat menarik kembali dana-dana tersebut sejumlah bank sentral di negara-negara maju akan menaikan suku bunganya.

Vibiz Consulting Alfred Pakasi memprediksi pada tahun depan dana asing yang banyak parkir di emerging economic akan kembali ke negara asalnya menyusul langka perbankan seperti the Fed menaiknya suku bunganya.

Terlebih  harga saham dan obligasi di Indonesia yang sudah dikerek sangat tinggi, dapat membuat investor tergerak untuk melakukan aksi ambil untung (profit taking) sehingga menyebabkan harga saham turun, imbal hasil obligasi naik (harga turun) dan kurs rupiah melemah, likuiditas terkuras,  pasar dalam negeri rontok, dan resesi akhirnya  menyapa Indonesia seperti di tahun 1998.

Tampaknya enam paket kebijakan moneter Juni dan rencana BI menganti SBI dengan Term Deposit adalah cara halus dari capital control yang bertujuan agar dana asing tidak lagi bisa leluasa bermain di instrumen keuangan dalam negeri dan terus-terusan membengkak kepemilikannya. BI telah memberikan sinyal kuat tentang bahaya ekonomi di tahun depan. ”tidak ada pesta yang tidak berakhir” ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar