Kumpulan Opini

Meletakan Kembali Konsep KEK
Oleh: Djasarmen Purba,SH
Anggota Komite II DPD RI

Pembentukan ASEAN Economic Community (AEC) tidak lepas dari upaya ASEAN untuk mengintegrasikan dirinya secara penuh kedalam system produksi dan ekonomi global, melalui rantai pasokan. Keinginan ini ditegaskan ASEAN melalui dokumen Bali Declaration on ASEAN Community in a Global Community of Nations atau Bali Concord III yang menyatakan pentingnya mengintegrasikan ASEAN kedalam proses globalisasi produksi, investasi, jasa dan tenaga terampil dalam rantai pasokan global.

Salah satu instrumen penting dalam pengintegrasian kedalam rantai pasokan global adalah kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus (KEK). Peraih Nobel Ekonomi 2008, Paul Krugman, dalam teori ”Teori Perdagangan Baru” (New Trade Theory) menjelaskan bahwa konsentrasi kegiatan ekonomi atau aglomerasi bagaimanapun memerlukan kegiatan produksi dengan skala ekonomis (economies of scale) tertentu yang tidak dapat diciptakan di semua daerah atau lokasi begitu saja.

Selanjutnya agar skala ekonomi meningkat, sebuah pabrik baru akan mencari Negara/daerah yang  mampu menekan biaya produksinya.  Skala ekonomi karena itu menentukan terciptanya konsentrasi kegiatan ekonomi  (aglomerasi) dan memicu pabrik-pabrik memilih berada pada lokasi saling berdekatan.  

Lokasi yang saling berdekatan akan menekan biaya produksi.  Sebab itu sebuah perusahaan akhirnya cenderung akan merelokasi pabrik ke Negara yang mampu menekan biaya rata-rata produknya. Contohnya sebuah perusahaan yang memproduksi komponen Hand Phone  Motorola yang dirakit (diproduksi) untuk ditujukan ke pasar China cenderung akan memilih berlokasi di  salah satu kawasan ekonomi khusus yang ada di Negara tersebut, misalnya KEK Shenzhen. Pilihan merelokasi pabrik ke Shenzhen didasari pertimbangan kedekatan dengan pasar guna meminimalisasi biaya transportasi (home-market effect).
Argumen ini sejalan dengan pendapat Peter F Drucker. Menurutnya pada pertengahan paruh kedua dasawarsa 70an  production sharing tak hanya merubah paradigma ekonomi manufaktur global,  tetapi juga mendorong sejumlah negara di berbagai belahan dunia membentuk Kawasan Ekonomi Khusus. Kecenderungan tersebut terus mengejala hingga sekarang. Ini tampak dari banyaknya perusahaan manufaktur berskala dunia hadir di Kawasan Ekonomi Khusus.

KEK BBK
Indonesia merupakan salah satu Negara yang tergolong pioneer menerapkan KEK. Awal tahun 1970an Indonesia membangun kawasan sejenis di Batam dan Sabang. Sabang dibangun berdasarkan UU No. 4 Thn 1970 Tentang kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan bebas (KPBDPB) Sabang, Sementara KEK Pulau Batam dibentuk satu tahun kemudian, berdasarkan Keppres No. 74 tahun 1971 sebagai Entreport Partikulir.
Namun, karena dinilai hanya menjadi pintu penyelundupan, pemerintah kemudian mencabut status  Kawasan Ekonomi Khusus Sabang melalui UU No 10/1985. Pada perkembangan selanjutnya pada tahun  2000 semasa presiden KH. Abdurrahman Wahid,  Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang No. 2 tahun 2000 tanggal 1 September 2000 yang kemudian disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2000 tentang Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas Sabang.
Sementara pulau Batam, pada tahun 1992 diperluas sebagai bonded zone berdasarkan Kepres No. 28 tahun 1992.  Namun karena pada prakteknya dianggap menerapkan aturan-aturan Free Trade Zone, pada tahun 2000 muncul desakan untuk merubah status pulau tersebut. Setelah tujuh tahun desakan tersebut, ditanggapi pemerintah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)  dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 1 tahun 2007 yang kemudian diikuti terbitnya peraturan pemerintah No. 46, 47 dan 48 tentang penetapan kawasan perdagang dan pelabuhan bebas Batam, Bintan dan Karimun. Selanjutnya perpu tersebut diubah menjadi Undang-Undang No 44 tahun 2007.
Belakangan sejak disahkan-nya Undang-Undang Nomor 39 tahun 2009 Tentang Kawasan Ekonomi Khusus sejumlah daerah berlomba-lomba mengajukan diri menjadi kawasan ekonomi khusus. Saat kunjungan kerja Komite II DPD RI ke Provinsi Papua Barat tanggal 24 Februari 2015 lalu, ketika Walikota Sorong, Drs. Ec. Lambertus Jitmau, MM dalam acara tatap muka menceritakan perjuangan menjadikan Sorong sebagai Kawasan Ekonomis Khusus, dan menjadikan Kota Batam sebagai role modoel pengembangan KEK Sorong.
Bila di wilayah barat ada KEK Batam, maka di wilayah timur akan ada KEK Sorong. Sorong memenuhi syarat untuk menjadi KEK, pertimbanganya, pertama; Sorong merupakan kota strategis yang menjadi penghubung kota-kota lainnya di Provinsi Papua Barat, kedua; menjadi pusat kantor-kantor industry perminyakan seperti Pertamina, ketiga; miliki sumberdaya alam cukup besar.
Kritik Atas Konsep KEK
Jika Sorong baru mengajukan diri menjadi KEK. Dua daerah lain telah diresmikan, yaitu KEK Sei Mangke di Sumatera Utara dan KEK Tanjung Lesung di Provinsi Banten. Namun kedua KEK ini cenderung belum ditujukan untuk mengintegrasikan perekonomian Indonesia secara penuh  kedalam rantai pasokan global.
KEK Sei Mangke masih terbatas pada pengembangan sektor kelapa sawit untuk keperluan ekspor, belum mengarah pada pembangunan industry manufaktur turunan dari kelapa sawit. Akibatnya KEK Sei Mangke masih menempatkan Indonesia sebatas pemasok bahan baku industry kosmetik. Begitu juga dengan KEK Tanjung Lesung yang dikembangkan sebagai pusat pariwisata.
Pengembangan KEK cenderung lebih dimaksudkan untuk memenuhi target peningkatan ekspor perdagangan sebesar 300 persen dalam 5 tahun seperti tertera dalam NAWACITA, melalui beberapa kawasan khusus yang mendapatkan fasilitas perpajakan, bea-cukai, dan infrastruktur pendukung, sehingga dapat bersaing dengan negara-negara tetangga dalam menarik investasi asing.
Padahal target peningkatan ekspor seperti tercantum dalam Nawacita dinilai tidak realistis, mengingat pertumbuhan ekspor dunia diprediksi paling banter tahun ini cuma sebesar 3,8persen.  Sebagai perbandingan; India yang berusaha dengan segala cara untuk mengenjot ekspor dalam 5 tahun terakhir hanya mampu mendongkrak pertumbuhan ekspor sebesar 74 persen.
Karena itu, bila pengembangan KEK digunakan untuk memenuhi ambisi pemerintah mencapai target pertumbuhan ekspor seperti tercantum dalam NAWACITA, maka kehadiran KEK tidak akan menggeser perekonomian Indonesia dalam system rantai pasokan global, sebaliknya KEK akan menjadi instrument yang efektif untuk menguras sumber daya alam Indonesia.
Dalam kaitan itu, perlu kiranya pemerintah meletakan kembali konsep KEK yang kini sedang dikembangkan di sejumlah daerah pada tujuan awalnya yaitu sebagai instrument untuk mengembangkan industri manufaktur melalui investasi guna mengintegrasikan perekonomian Indonesia dalam system rantai pasokan global. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar