Selasa, 31 Januari 2012

OPINI


Mencari Akar Rusuh
Buruh Drydocks World


OLEH: DJASARMEN PURBA, SH


Dinamika yang berkembang dalam perburuhan di Indonesia dewasa ini, yakni menguatnya sentimen anti liberalisasi pada sector perburuhan. Kerusuhan di PT Drydocks World Graha beberapa waktu lalu bukan semata mata soal ketersinggungan buruh lokal terhadap pernyataan bernada rasis dari salah seorang ekspatriat. Namun juga dilatarbelakangi kebijakan pemerintah yang menganut prinsip persaingan bebas di pasar tenaga tenaga. 

Tuntutan penciptaan iklim investasi yang kondusif telah mendorong pemerintah menempuh sejumlah kebijakan yang menekankan efisiensi secara berlebihan untuk meningkatkan investasi melalui penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja (labour market flexibility). Labour market flexibility menekankan penerapan kebijakan upah murah, menghapus perlindungan tenaga kerja, yang berakibat hilangnya keamanan kerja (job security) bagi buruh, serta perubahan status dari buruh tetap menjadi buruh kontrak. 

Kompas dalam laporan akhir tahunnya (11/ 12/2007) menyatakan sepanjang tahun 2007 terdapat 22.275 perusahaan yang menyerahkan sebagian atau hampir semua pekerjaannya kepada pihak ketiga (outsourcing). Padahal, semua perusahaan tersebut masih memiliki 2.114.774 tenaga kerja. Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, ada 1.082 perusahaan penyedia jasa pekerja yang mempekerjakan 114.566 orang. Selain itu, ada juga 1.540 perusahaan pemborongan pekerjaan yang mempekerjakan 78.918 orang. Konsekuensi dari penerapan kerja kontrak dan outsourcing secara langsung telah membuka ruang seluas-luasnya kepada perusahaan untuk mempekerjakan buruh selama waktu tentu tanpa menjamin bahwa buruh bersangkutan akan diangkat menjadi tenaga kerja tetap. 

Terlebih perusahaan cenderung mempekerjakan buruh tidak lebih dari satu tahun, kemudian merekut tenaga kerja baru yang baru lulus sekolah (fresh graduated). Kondisi ini menempatkan seseorang buruh, bukan saja tidak mempunyai rasa memiliki sense of belonging) pada perusahaan tempatnya bekerja, tetapi juga membuatnya kehilangan akan bayangan masa depan dari pekerjaan yang dilakoninya. Jika mereka bekerja hanya untuk beberapa bulan saja, sebelum akhirnya diputus kontraknya, maka bagi tidak ada yang perlu dipertahankan dari pekerjaan di perusahaan tersebut. Berangkat dari alasan semacam ini, barangkali dapat dipahami mengapa aksi buruh di PT Drydocks World Graha dapat terjadi.

Penempatan TKA
Terlebih liberalisasi sektor perburuhan pada kenyataannya telah mendorong persaingan dipasar tenaga kerja bukan saja antara buruh lokal, namun juga antara buruh lokal dengan buruh asing yang jauh lebih terampil, untuk menempati berbagai posisi pekerjaan. Buruh Indonesia sebagaimana diketahui, didominasi tenaga kerja kurang terampil. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2009, buruh Indonesia yang menyelesaikan LOGIKA sederhana mengatakan bagaimana mungkin ribuan buruh galangan kapal PT Drydocks World Graha, Tanjunguncang, Batam yang pada mulanya melakukan demonstrasi dapat melakukan aksi pengrusakan terhadap tempatnya mencari nafkah. Aksi tertinggi dalam demonstrasi buruh adalah perebutan alat produksi. Artinya dalam aksinya buruh tidak akan menghancurkan aset perusahaan. 

Namun menguasainya untuk selanjutnya menjalankan roda produksi secara kolektif demi kesejahteraan bersama. Tapi aksi amuk buruh di Batam, barangkali memberikan gambaran lain terhadap pendidikan tinggi (akademi atau universitas) hanya sebesar 1,2 juta orang atau kurang dari 12 persen dari total jumlah pekerja yang ada. Persaingan yang tidak adil ini, menimbulkan gesekan antara buruh lokal dan buruh asing. Terlebih pada prakteknya di lapangan buruh-buruh asing acapkali merendahkan buruh-buruh lokal, sebagaimana yang terjadi di PT Drydocks World Graha, Batam. Semestinya untuk mengurangi ketegangan semacam ini, pekerjaan pada level middle dan low managemen tidak perlu diserahkan kepada buruh asing, namun dapat diisi oleh tenaga kerja lokal. 

Tapi kenyataanya, Prabaharan warga negara (WN) India yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus rusuh di Batam, menduduki jabatan supervisor, yang berada pada level low management. Dapat disimpulkan bahwa akar permasalah gejolak buruh di Batam, dan disejumlah wilayah lain, sebenarnya adalah kebijakannya perburuhan yang mendasarkan pada labour market flexibility, yang dinilai mengabaikan hak-hak buruh, dan mengacam kelangsungan masa depan mereka. Karena itu, pada, pemerintah mengkaji ulang kebijakanya di sektor perburuhan, terutama menghapuskan kerja kontrak dan outsourcing, upah murah, dan union busting. Selama pemerintah tidak merubah kebijakannya, maka selama itu juga potensi rusuh buruh seperti di Batam akan terus menciptakan Lebensraum (ruang hidupnya) Batam Pos Senin 3 Mei 2010 (halaman 4). *****

Tidak ada komentar:

Posting Komentar