Selasa, 31 Januari 2012

OPINI



Mengubah Wajah Indonesia di Selat Malaka


OLEH: DJASARMEN PURBA, SH

INDONESIA adalah satu dari tiga Negara yang berada tepat di Selat Malaka, bahkan 80 persen alur lalu lintas kapal di selat ini berada di wilayah pelayaran Indonesia. Namun Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi ekonomi tersebut bagi kepentingan nasional. Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran teramai di dunia, setiap hari ini Selat Malaka dilalui oleh lebih dari 200 unit kapal atau sekitar 63.00 kapal per tahunnya, dan sekitar 10 persen di antaranya merupakan kapal tanker minyak berukuran besar. Indonesia yang memiliki teritori dominant di Selat Malaka, seharusnya mampu menangkap peluang yang ada, melalui pengembangan sejumlah kegiatan ekonomi, misalnya penyediaan jasa pelayanan pemanduan kapal, kegiatan alih muatan kapal STS (ship to ship transfer), kegiatan pembekalan (ship provision, equipment supply), kegiatan pengawakan kapal (ship crewing), perbaikan kapal dan lain lain. Tingkat kerawanan kecelakaan yang cukup tinggi menuntut tersediaanya jasa pemanduan kapal di Selat Malaka. 

Penyediaan jasa pemanduaan ini menjanjikan nilai ekonomi yang cukup tinggi, sebagai gambaran kasar; biaya jasa pemandu sekitar 0,026 dolar AS per kapasitas ruang muatan (gross register tonnage/GRT). Seandainya Indonesia dapat melayani 10 kapal tanker berukuran besar per hari dengan asumsi, biaya jasa pemandu sebesar Rp100 juta per kapal—maka pendapatan dari jasa pemandu ini mencapai Rp1 miliar per hari. Jasa pemanduan kapal dapat dilakukan di jalur Selat Malaka, Selat Philip, dan Selat Singapura, yang dimulai dari titik pandu naik (pilot boarding point) di lokasi 01’12’50" N/103’21’42" E pulau Iyu Kecil dan titik pandu turun di lokasi 01’13’30" N/104’01’00" E di perairan Nongsa Batam. 

Namun karena pemerintah tidak terlalu menganggap penting keberadaan Selat Malaka, akibatnya selat Malaka dikuasai oleh Singapura dan Malaysia. Padahal, penyediaan jasa pemanduan kapal seharusnya sudah sejak lama dilaksanakan oleh Indonesia yakni sejak dikeluarkannya TSS (Traffic Separation Zone) for Malacca and Singapore Strait pada tahun 1980 oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO International Maritime Organization). TSS mengamanatkan kepada pemerintah tiga Negara di selat Malaka ( Indonesia, Malaysia dan Singapura), untuk menyediakan pelayanan jasa pemanduan bagi kapal-kapal tertentu dengan kapasitas besar, yaitu kapal dengan sarat dalam ( Deep Draft Vessel ) melebihi 15 meter, serta kapal dengan ukuran diatas 150.000GT (VLCC – Very Large Crude Carrier), namun amant ini diabaikan oleh Pemerintah RI Mengingat semakin bertambahnya jumlah lalulintas kapal, serta terus meningkatnya kecelakaan kapal yang sangat fatal di Selat Malaka, pada tahun 1998 IMO melakukan penyempurnaan TSS menjadi yang lebih panjang dan lebih penuh dimulai dari Beting Sedepa (One Fathom Bank) sampai ke Suar Batu Putih (Horsburgh Lt Ho) yang panjangnya tidak kurang dari 250 nm, namun lagi-lagi seruan IMO ini diabaikan pemerintah RI dengan alasan ketiadaan operator dan petugas pemandu. 

Bahkan jauh sebelumnya seruan kepada Indonesia juga pernah disampaikan. Pada tahun 1968 ketika dibentuk Forum TTEG (Three partite Technical Expert Group – tiga Negara pantai), dan Dewan Selat Malaka – Malacca Strait Council (MSC) yang menetapkan sistim pelaporan Selat Malaka (StraitRep), serta Sistem Pengawasan dan Monitoring Kapal (Vessel Traffic Information System – VTIS) dan pengendalian lalulintas kapal untuk keselamatan pelayaran, di Selat Malaka. Seruan agar Indonesia menyediaan jasa pemanduan terus disuarakan berulangulang kali dalam berbagai sidang TTEG. Namun tidak direspon serius oleh pemerintah Indonesia. Baru pada tahun 2002, muncul pemikiran untuk mengembangkan jasa pemanduan di Selat Malaka, dengan pembentukan Tim Penetapan Perairan Pandu Luar Biasa Selat Malaka dan Selat Singapura, yang membuahkan hasil pada tahun 2007, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, tentang Penetapan Perairan Pandu Luar Biasa, Selat Malaka dan Selat Singapura, tanggal 27 Desember 2007. Setahun kemudian (2008) Departemen Perhubungan menyelenggarakan pelatihan Pandu Selat Malaka dan Selat Singapura (Deep Sea Pilot), kepada 43 orang staf pemandu. 

Namun demikian, meskipun sudah tersedia staf pemanduan kapal, namun izin penyelengaraan pemanduan kapal di selat Malaka dan selat Singapura yang diajukan PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I sejak tahun 2007 belum dianggapi oleh Departemen Perhubungan. Akibatnya amanat IMO belum juga dapat dilaksanakan Indonesia hingga hari ini. Belakangan secercah cahaya mulai tampak. Dalam pertemuan dengan Menteri Perhubungan, Freddi Numberi dengan saya (Jasarmen Purba) awal bulan lalu. 

Menhub secara tegas mengatakan bahwa kegiatan pemanduan kapal di wilayah RI tidak boleh dilakukan oleh negara lain karena akan menginjak-injak kedaulatan NKRI. Pada kesempatann itu juga Menhub cq Dirjen perhubungan laut memberikan izin kepada PT. Pelindo I untuk melakukan usaha pemanduan kapal di wilayah Selat Malaka dan Selat Singapura. Penyediaan jasa pemanduan kapal di selat Malaka dan Selat Singapura oleh Indonesia, tidak saja akan merubah wajah Indonesia di Selat Malaka, lebih jauh dapat mencegah upaya Internationalisasi Selat Malaka yang belakangan semakin digencarkan dilakukan pihak-pihak tertentu. Bukan rahasia umum lagi bahwa sejumlah negara-negara besar sejak dahulu telah secara jelas menunjukkan keinginannya dan minatnya untuk dapat ikut campur mengendalikan pengelolaan Selat Malaka. Dengan demikian penyediaan jasa pemanduan kapal di Selat Malaka, bukan semata-mata persoalan ekonomi belaka, namun menyangkut harga diri bangsa dan penegakan kedaulatan dan kesatuan NKRI. Batam Pos Selasa 14 Juni 2011(halaman 4).****


Tidak ada komentar:

Posting Komentar