Partisipasi Masyarakat
dan Kualitas Demokrasi
OLEH:
DJASARMEN PURBA, SH
PEMILIHAN umum kepala daerah
(Pilkada) merupakan sarana politik formal bagi masyarakat untuk memilih
pemimpinnya yang akan menjalan roda pemerintahan dalam lima tahun kedepan, dalam rangka membawa
angin perubahan yang lebih baik. Sebagai sebuah sarana politik yang diharapkan
dapat membawa perubahan nasib masyarakat. Sewajarnya setiap pelaksanaan
Pilkada, tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya
mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Semakin banyak rakyat yang terlibat
dalam proses pilkada, akan semakin baik legitimasi yang diperoleh si pemimpin
dan pemerintahan yang akan dijalankanya, dalam rangka membawa perubahan yang
lebih baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat pemilih. Namun dalam
beberapa waktu terakhir, kita justru melihat keadaan sebaliknya.
Diberbagai pelaksanaan Pilkada di sejumlah daerah, partisipasi masyarakat terus mengalami kemerosotan, tidak terkecuali juga pada provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pada Pilkada Gubernur Kepri tahun 2005 lalu, tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya hanya mencapai 46,34 persen, atau lebih dari 53,66 persen pemilih di Kepri masuk dalam golongan putih (Absentia Voter). Meskipun persentase Absentia Voter sangat besar pada Pilkada Gubernur tahun 2005 lalu, namun hal itu tidak dapat membatalkan hasil Pilkada. Gubernur dan wakilnya tetap dilantik, dan roda pemerintahan berjalan sebagaimana biasanya.
Hanya saja memang partisipasi masyarakat yang rendah dalam menggunakan hak pilihnya dapat menurunkan kualitas demokrasi. Rendahnya kualitas demokrasi dapat mempengaruhi buruknya legitimasi pemerintah yang terbentuk dari hasil pemilu. Rendahnya legitimasi pemerintah akan membuka ruang buruknya pelayanan publik yang diterima masyarakat, serta maraknya praktik KKN karena kurangnya kontrol dari masyarakat. Kondisi ini jika terus-terusan berlangsung akan melahirkan kekecewaaan politik (political disappointed) di dalam masyarakat, yang dapat mendorong tersumbatnya atau melemahnya saranasarana politik formal.
Melemahnya sarana-sarana politik formal akhirnya akan memicu meningkatnya kembali Absentia Voter pada Pilkada-pilkada selanjutnya. Dan seperti lingkaran setan, para elite politik, pemerintah dan masyarakat akan terjebak dalam situasi transisi permanen, sehingga tidak punya kemampuan untuk mengelola demokrasi ke arah yang efektif. Pilkada sebagai instrumen demokrasi, yang pada mulanya diharapkan dapat menjadi alat untuk melahirkan pemimpin yang kuat, guna membawa masyarakat untuk keluar dari kemelut yang dihadapinya tidak memberikan faedah langsung bagi mereka. Perasaan tidak mendapatkan faedah langsung dari Pilkada ini dapat memperkuat arus pemikiran di tengah masyarakat bahwa ”ikut atau tidak ikut di dalam pemilihan sama saja.
Sama-sama tidak akan menghasilkan perubahan yang berarti” Pemikiran ini kritis sekaligus apatis. Kritis karena perilaku untuk memutuskan tidak memilih itu didasarkan pada penilaian-penilaian (affective and evaluational orientations) terhadap apa yang dilakukan oleh para elite politik. Apatis karena mereka menyerah begitu saja terhadap keadaan yang ada, tanpa berusaha serius ikut memunculkan perubahan. Sebuah perubahan tidak bisa hanya diharapkan datang dari atas (elite politik), namun juga dari keinginan dan peran serta aktif masyarakat. Pilkada merupakan salah satu upaya untuk membangun perubahan ke arah kondisi yang lebih baik tersebut. Karena itu sudah seharusnya bagi setiap warga masyarakat untuk mengambil peran masing-masing untuk menyukseskan agenda dimaksud.
Dengan kata lain, Pilkada sebagai alat menuju perubahan dapat tercapai, apabila antara partisipasi masyarakat dalam Pilkada dan prilaku elite politik dapat berjalan seiringan. Keserasian keduanya akan mendorong Pilkada menghasilkan pemimpin yang memiliki sense of crisis, ikut merasakan penderitaan masyarakat sehingga melahirkan kebijakan dan keputusan yang propoor, projob dan prodevelopment untuk membebaskan masyarakat dari belenggu masalahnya. Maka, yang diperlukan adalah kepekaan etis dari para elite-elite politik, untuk mengutamakan hajat hidup orang banyak diatas pamrih kekuasaan individu maupun kelompok, serta tumbuhnya kesadaran akan arti etika dan kedamaian, bukan mengedepankan nafsu dan kepentingan pragmatis.
Karena itu setiap kontestan pada Pilkada Kepri tanggal 26 Mei nanti harus mengedepankan budaya siap kalah dan siap menang. Bagi yang kalah legowo, sedangkan yang menang harus siap merangkul yang kalah untuk turut serta membangun Kepri yang lebih baik lagi kedepan. Budaya siap kalah, siap menang tidak dapat lagi hanya menjadi wacana dan retorika saja, namun harus menjadi bagian dari habitus dan budaya politik di Kepri, sebagai modal sosial untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Kepri dan masa depan demokrasi yang lebih baik. Batam Pos Senin 17 Mei 2010 (halaman 4).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar