Senin, 19 Maret 2012

OPINI


Satu Waktu, Satu Indonesia



Oleh: Djasarmen Purba.SH


Apa jadinya, seandainya suatu hari pasukan Amerika Serikat yang berpangkalan di Darwin,  Australia melakukan serangan ke Papua pada pukul 06.00 WIT atau pukul 04.00 WIB di Jakarta, disaat para petinggi militer dan kepala negara masih terlelap dalam mimpinya. Pusat komando di Jakarta terlambat bereaksi dan dalam sekejap Papua dengan mudah diduduki.

Bayangkan pula, misalnya pada pukul 06.00 WIT atau pukul 04.00 WIB, saat orang-orang di Indonesia bagian barat masih tertidur, terjadi bencana tsunami yang begitu besar dan dahsyat di Maluku seperti Aceh tahun 2004 lalu yang memutuskan seluruh jalur komunikasi dan informasi serta mengakibat korban jiwa ribuan orang. Jakarta lagi-lagi akan terlambat merespon bencana tersebut

Begitu juga sebagai contoh Negara Malaysia, Singapura berbeda 1 (satu) jam waktunya dengan provinsi perbatasan seperti Sumatera Utara maupun Kepulauan Riau. Kedua Negara tersebut tidak lagi mempergunakan patokan GMT.

Selisih waktu satu jam masing-masing zona waktu Indonesia, berpotensi menjadi (persoalan serius) jika negara dalam keadaan bahaya, karena memungkinkan terjadinya disparitas arus infomasi sehingga pemerintah lamban beraksi saat waktu tanggap darurat (response time),  terutama pada peristiwa-peristiwa yang terjadi di belahan Indonesia bagian tengah dan timur.

Sebagai negara kepulauan yang memerlukan strategi pertahanan dan keamanan yang terintegrasi antara daerah satu dengan daerah lain, perbedaan waktu dapat menjadi hambatan pengambilan keputusan dan perintah komando operasi yang dapat dilaksanakan secara serentak dan bersamaan di seluruh wilayah Indonesia.

Dalam konteks ini, maka wacana penyatuan zona waktu Indonesia yang belakangan dilempar Menko Perekonomian, Hatta Rajasa menjadi penting dan logis, karena bukan semata-mata menyangkut pertimbangan ekonomi dan bisnis belaka, namun juga aspek keamanan dan pertahanan negara.

Selama ini, tanpa disengaja pembagian zona tiga waktu berpretensi mengkotak-kotakan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga menimbulkan kesan masyarakat yang bermukim di wilayah Indonesia bagian timur dan tengah dianaktirikan dibandingkan masyarakat yang berada di Indonesia bagian barat yang cenderung mendapatkan akses informasi lebih cepat karena berada didekat pusat kekuasaan.

Melemahnya rasa kebersamaan dan perasaan bersatu rakyat dalam payung NKRI beberapa dekade belakangan ini, secara langsung atau tidak langsung juga dikontribusikan oleh keberadaan zona waktu yang terkesan membagi Indonesia kedalam tiga wilayah.

Karena itu ide penyatuan zona waktu Indonesia yang digagas sejak tahun 2005 oleh Kantor Menteri Negara Riset & Teknologi (KMNRT) dan belakangan marak diperbincangkan diharapkan dapat memperkuat kembali rasa persatuan bangsa Indonesia.

Disisi lain tiga zona waktu Indonesia bukanlah sesuatu yang given. Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang dalam penentuan zona waktu. Dimasa kolonial Belanda, tepat 1 Mei 1908 pemerintah Hindia Belanda menetapkan waktu Jawa Tengah sebagai waktu mintakad (GMT+7:12), waktu Batavia berselisih 12 menit dari waktu mintakad. Di luar Jawa dan Madura, waktu mintakad sama sekali tidak diatur. Pada 22 Februari 1918 keluar beleid yang menentukan waktu Padang 39 menit terlambat dari waktu Jawa Tengah. Balikpapan dipergunakan +8:20 lebih dahulu dari GMT. Sedangkan daerah lain ditentukan oleh Hoofden van Gewestelijk Bestuur in de Buitengewesten (penguasa daerah). Diantaranya, Karesidenan Bali dan Lombok menggunakan Waktu Bali, 22 menit maju dari waktu Jawa Tengah.  Perubahan besar tejadi 11 November 1932, berdasarkan Bij Gouvernment Besluit van 27 Juli 1932 No. 26 Staatsblad No. 412. Hindia Belanda dibagi menjadi enam zona waktu dengan selisih 30 menit.

Waktu mintakad berubah total selama pendudukan Jepang. Demi efektivitas operasi militer, waktu Indonesia ditentukan mengikuti waktu Tokyo (GMT+9). Setelah merdeka, pada 1950 zona waktu Indonesia dibagi enam wilayah. Masing-masing berbeda tiga puluh menit. 13 Tahun kemudian  keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 243 tahun 1963 yang membagi Indonesia tiga zona waktu. Pada era Orde Baru, presiden Soeharto menerbit Keppres Nomor 41 tahun 1987, yang membagi zona waktu Indonesia menjadi tiga dengan perbedaan masing-masing satu  jam.

Ide penyatuan zona waktu Indonesia semakin dimungkinkan setelah pada akhir November 2011 lalu, 50 ilmuwan dunia yang berkumpul di sebuah kota sebelat barat laut London berkesimpulan kecepatan rotasi bumi yang terus berubah-ubah  mengakibatkan Greenwich Mean Time (GMT) tidak dapat lagi dijadikan patokan waktu dunia. Disisi lain banyak negara di dunia sejak lama tidak menggunakan GMT patokan penentan zona waktunya.

Karena itu guna membangkitkan kembali rasa persatuan dan nasionalisme, penyatuan zona waktu adalah sebuah keharusan. Dengan satu waktu, maka seluruh rakyat dari Sabang samapi Merauke merasakan ikatan yang kokoh, merasakan satu negara, satu bangsa, satu bahasa dan satu waktu: waktu Indonesia (dimuat "SINAR HARAPAN",  Jakarta, 19 Maret 2012).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar