Satu Waktu,
Satu Indonesia
Apa
jadinya, seandainya suatu hari pasukan Amerika Serikat yang berpangkalan di
Darwin, Australia melakukan serangan ke
Papua pada pukul 06.00 WIT atau pukul 04.00 WIB di Jakarta, disaat para
petinggi militer dan kepala negara masih terlelap dalam mimpinya. Pusat komando
di Jakarta terlambat bereaksi dan dalam sekejap Papua dengan mudah diduduki.
Bayangkan
pula, misalnya pada pukul 06.00 WIT atau pukul 04.00 WIB, saat orang-orang di
Indonesia bagian barat masih tertidur, terjadi bencana tsunami yang begitu
besar dan dahsyat di Maluku seperti Aceh tahun 2004 lalu yang memutuskan
seluruh jalur komunikasi dan informasi serta mengakibat korban jiwa ribuan
orang. Jakarta lagi-lagi akan terlambat merespon bencana tersebut
Begitu
juga sebagai contoh Negara Malaysia, Singapura berbeda 1 (satu) jam waktunya
dengan provinsi perbatasan seperti Sumatera Utara maupun Kepulauan Riau. Kedua
Negara tersebut tidak lagi mempergunakan patokan GMT.
Selisih
waktu satu jam masing-masing zona waktu Indonesia, berpotensi menjadi (persoalan
serius) jika negara dalam keadaan bahaya, karena memungkinkan terjadinya
disparitas arus infomasi sehingga pemerintah lamban beraksi saat waktu tanggap
darurat (response time), terutama pada peristiwa-peristiwa yang
terjadi di belahan Indonesia bagian tengah dan timur.
Sebagai
negara kepulauan yang memerlukan strategi pertahanan dan keamanan yang
terintegrasi antara daerah satu dengan daerah lain, perbedaan waktu dapat
menjadi hambatan pengambilan keputusan dan perintah komando operasi yang dapat
dilaksanakan secara serentak dan bersamaan di seluruh wilayah Indonesia.
Dalam
konteks ini, maka wacana penyatuan zona waktu Indonesia yang belakangan dilempar
Menko Perekonomian, Hatta Rajasa menjadi penting dan logis, karena bukan
semata-mata menyangkut pertimbangan ekonomi dan bisnis belaka, namun juga aspek
keamanan dan pertahanan negara.
Selama
ini, tanpa disengaja pembagian zona tiga waktu berpretensi mengkotak-kotakan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), sehingga menimbulkan kesan masyarakat yang bermukim
di wilayah Indonesia bagian timur dan tengah dianaktirikan dibandingkan
masyarakat yang berada di Indonesia bagian barat yang cenderung mendapatkan
akses informasi lebih cepat karena berada didekat pusat kekuasaan.
Melemahnya
rasa kebersamaan dan perasaan bersatu rakyat dalam payung NKRI beberapa dekade
belakangan ini, secara langsung atau tidak langsung juga dikontribusikan oleh
keberadaan zona waktu yang terkesan membagi Indonesia kedalam tiga wilayah.
Karena
itu ide penyatuan zona waktu Indonesia yang digagas sejak tahun 2005 oleh
Kantor Menteri Negara Riset & Teknologi (KMNRT) dan belakangan marak
diperbincangkan diharapkan dapat memperkuat kembali rasa persatuan bangsa
Indonesia.
Disisi
lain tiga zona waktu Indonesia bukanlah sesuatu yang given. Indonesia memiliki sejarah yang cukup panjang dalam
penentuan zona waktu. Dimasa kolonial Belanda, tepat 1 Mei 1908 pemerintah
Hindia Belanda menetapkan waktu Jawa Tengah sebagai waktu mintakad (GMT+7:12),
waktu Batavia berselisih 12 menit dari waktu mintakad. Di luar Jawa dan Madura,
waktu mintakad sama sekali tidak diatur. Pada 22 Februari 1918 keluar beleid
yang menentukan waktu Padang 39 menit terlambat dari waktu Jawa Tengah.
Balikpapan dipergunakan +8:20 lebih dahulu dari GMT. Sedangkan daerah lain
ditentukan oleh Hoofden van Gewestelijk Bestuur in de Buitengewesten (penguasa
daerah). Diantaranya, Karesidenan Bali dan Lombok menggunakan Waktu Bali, 22
menit maju dari waktu Jawa Tengah. Perubahan
besar tejadi 11 November 1932, berdasarkan Bij Gouvernment Besluit van 27 Juli
1932 No. 26 Staatsblad No. 412. Hindia Belanda dibagi menjadi enam zona waktu
dengan selisih 30 menit.
Waktu
mintakad berubah total selama pendudukan Jepang. Demi efektivitas operasi
militer, waktu Indonesia ditentukan mengikuti waktu Tokyo (GMT+9). Setelah
merdeka, pada 1950 zona waktu Indonesia dibagi enam wilayah. Masing-masing
berbeda tiga puluh menit. 13 Tahun kemudian
keluarlah Keputusan Presiden RI Nomor 243 tahun 1963 yang membagi
Indonesia tiga zona waktu. Pada era Orde Baru, presiden Soeharto menerbit
Keppres Nomor 41 tahun 1987, yang membagi zona waktu Indonesia menjadi tiga
dengan perbedaan masing-masing satu jam.
Ide
penyatuan zona waktu Indonesia semakin dimungkinkan setelah pada akhir November
2011 lalu, 50 ilmuwan dunia yang berkumpul di sebuah kota sebelat barat laut
London berkesimpulan kecepatan rotasi bumi yang terus berubah-ubah mengakibatkan Greenwich Mean Time (GMT) tidak
dapat lagi dijadikan patokan waktu dunia. Disisi lain banyak negara di dunia
sejak lama tidak menggunakan GMT patokan penentan zona waktunya.
Karena
itu guna membangkitkan kembali rasa persatuan dan nasionalisme, penyatuan zona
waktu adalah sebuah keharusan. Dengan satu waktu, maka seluruh rakyat dari
Sabang samapi Merauke merasakan ikatan yang kokoh, merasakan satu negara, satu
bangsa, satu bahasa dan satu waktu: waktu Indonesia (dimuat "SINAR HARAPAN", Jakarta, 19 Maret 2012).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar