Menjadikan Sektor Kelautan Sebagai
”Prime Mover” Pembangunan
OLEH: DJASARMEN PURBA, SH
Saya
menyambut baik tulisan sdr. Dr. Ir. Eddiwan, M.Sc, Pegawai Dinas Kelautan dan
Perikanan Provinsi Kepulauan Riau, mengenai Optimalisasi Pembangunan Kelautan
dan Perikanan pada Batam Pos edisi
6 november lalu. Berkaca pada pengalaman China, Korea Selatan, dan Thailand,
negara-negara yang sesungguhnya memiliki sumber daya kelautan yang relatif
terbatas, namun memiliki lembaga yang mengurus khusus kelautan dan perikanan,
maka sudah selayaknya Indonesia juga memiliki lembaga serupa.
Karena ketiadaan lembaga tersebut, menurut Eddiwan, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia tidak optimal, bahkan cenderung membuat sektor kelautan terabaikan dan dijarah oleh pihak-pihak luar. Sekedar melengkapi dan memperdalam apa yang sudah disampaikan Eddiwan, menurut hemat kami, akar persoalan bukan sekedar ketiadaan lembaga yang khusus mengurus kelautan dan perikanan.
Namun lebih jauh lagi, karena paradigma pembangunan yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah lebih banyak diarahkan kepada pembangunan wilayah daratan dan masih belum menyentuh pembangunan kelautan dan perikanan. Selama paradigma pembangunan ini tidak berorientasi pada “marine based social-economic development”, maka persoalan kelautan dan perikanan akan tetap tidak mendapat prioritas utama dalam pembangunan, bahkan cenderung hanya menjadi pelengkap belaka. Ini tentu akan melahirkan rendahnya perhatian dan pengawasan terhadap potensi sumber daya kelautan dan perikanan. Rendahnya perhatian dan pengawasan terhadap potensi kelautan dalam negeri, tidak saja membuka ruang bagi beroperasinya kapal- kapal asing secara ilegal, namun juga dapat memicu terjadinya degradasi sumber daya kelautan dan perikanan.
Kerusakan terumbu karang dan menurunnya potensi perikanan di perairan pantai memaksa nelayan-nelayan tradisional untuk beroperasi lebih jauh dari perairan pantai. Keadaan ini merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas masyarakat nelayan. Bahkan secara sistemik akan mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat nelayan, yang secara langsung akan berdampak meningkatkan jumlah penduduk miskin serta menurunkan kontribusi sector kelautan dan perikanan terhadap pembangunan nasional. Meski potensi kelautan yang dimiliki Indonesia sangat besar namun kontribusi sektor kelautan hingga triwulan III 2010 hanya menyumbang 16,5 persen dari pangsa PDB Nasional. Jika dibandingkan dengan negara lain, maka kontribusi sektor kelautan Indonesia relatif masih rendah.
Padahal di negara lain seperti RRC, Amerika Serikat dan Norwegia, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sudah melebihi 30 persen Relatif kecilnya kontribusi sector kelautan terhadap pangsa pasar PDB, juga dipicu oleh tata kelola sector kelautan dan perikanan yang tidak terintegrasi dan cenderung terpecahpecah secara sektoral. Di samping itu belum adanya kesamaan persepsi terhadap masalah-masalah kelautan pada kalangan pemerintah, masyarakat, swasta, media, dan dunia akademis. Pengalaman kami selama bertugas sebagai Wakil Ketua Komite II DPD RI yang membidangi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, yang salah satu di dalamnya adalah sektor kelautan dan perikanan, faktor lain yang tidak kalah penting dari belum optimalnya pengelolaan sektor keluatan dan perikanan adalah tingginya inkonsistensi kebijakan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan oleh departemen dan instansi terkait.
Inkonsistensi kebijakan perencanaan tersebut terjadi akibat tidak dilaksanakannya kegiatan perencanaan pembangunan di tingkat pusat sesuai dengan pendekatan aliran bawah-atas (bottom-up approach), yaitu perencanaan pembangunan yang mencerminkan muatan lokal dan aspirasi masyarakat setempat. Sebaliknya sampai saat ini kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat masih bersifat homogen terhadap semua wilayah (topdown approach). Celakanya, pemerintah daerah juga bersikap menerima kebijakan tersebut walaupun tidak sesuai dengan muatan perencanaan lokal. Akibatnya, kegiatan pembangunan tidak mengarah kepada sasaran. Lebih lanjut, daerah-daerah yang berada di kepulauan tidak mampu memaksimalkan berbagai sumber kelautan yang dimilikinya untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerahnya.
Guna memaksimalkan potensi sumber daya kelautan dan perikanan, dalam rangka mempercepat perekonomian daerah, maka ada sejumlah upaya yang perlu ditempuh pemerintah dan berbagai pihak terkait. Pertama, meningkatkan pemberdayaan fungsi sosial ekonomi masyarakat, dan mendayagunakan secara optimal potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan dengan melakukan terobosan inovasi teknologi di bidang penangkapan dan budidaya, permodalan, data dan informasi. Kedua, meningkatkan pengawasan dan pengendalian penangkapan, melalui penerapan sistem monitoring, controlling dan surveillance (MCS) yang merupakan bagian integral dari rencana pengelolaan perikanan, penataan kembali kelembagaan pengawas, dan sarana pengawasan yang diperlukan.
Ketiga, melakukan pembenahan peraturan serta meningkatkan kinerja setiap komponen organisasi departemen, dan koordinasi antar instansi dan departemen. Ketiga, program ini hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi, dan dapat dijadikan “framework” bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya untuk menyamakan persepsi antar sector terkait di bidang kelautan mengenai program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, yang melibatkan seluruh stakeholders. Hanya dengan kesamaan persepsi seluruh stakeholders, maka pembangunan sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi ”Prime Mover” pembangunan ekonomi nasional, yang pro-growth, projob dan pro-poor Batam Pos Sabtu 13 November 2010 (halaman 4).***
Karena ketiadaan lembaga tersebut, menurut Eddiwan, pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia tidak optimal, bahkan cenderung membuat sektor kelautan terabaikan dan dijarah oleh pihak-pihak luar. Sekedar melengkapi dan memperdalam apa yang sudah disampaikan Eddiwan, menurut hemat kami, akar persoalan bukan sekedar ketiadaan lembaga yang khusus mengurus kelautan dan perikanan.
Namun lebih jauh lagi, karena paradigma pembangunan yang selama ini dikembangkan oleh pemerintah lebih banyak diarahkan kepada pembangunan wilayah daratan dan masih belum menyentuh pembangunan kelautan dan perikanan. Selama paradigma pembangunan ini tidak berorientasi pada “marine based social-economic development”, maka persoalan kelautan dan perikanan akan tetap tidak mendapat prioritas utama dalam pembangunan, bahkan cenderung hanya menjadi pelengkap belaka. Ini tentu akan melahirkan rendahnya perhatian dan pengawasan terhadap potensi sumber daya kelautan dan perikanan. Rendahnya perhatian dan pengawasan terhadap potensi kelautan dalam negeri, tidak saja membuka ruang bagi beroperasinya kapal- kapal asing secara ilegal, namun juga dapat memicu terjadinya degradasi sumber daya kelautan dan perikanan.
Kerusakan terumbu karang dan menurunnya potensi perikanan di perairan pantai memaksa nelayan-nelayan tradisional untuk beroperasi lebih jauh dari perairan pantai. Keadaan ini merupakan faktor yang berpengaruh terhadap penurunan produktivitas masyarakat nelayan. Bahkan secara sistemik akan mengakibatkan penurunan pendapatan masyarakat nelayan, yang secara langsung akan berdampak meningkatkan jumlah penduduk miskin serta menurunkan kontribusi sector kelautan dan perikanan terhadap pembangunan nasional. Meski potensi kelautan yang dimiliki Indonesia sangat besar namun kontribusi sektor kelautan hingga triwulan III 2010 hanya menyumbang 16,5 persen dari pangsa PDB Nasional. Jika dibandingkan dengan negara lain, maka kontribusi sektor kelautan Indonesia relatif masih rendah.
Padahal di negara lain seperti RRC, Amerika Serikat dan Norwegia, kontribusi sektor kelautan terhadap PDB nasional sudah melebihi 30 persen Relatif kecilnya kontribusi sector kelautan terhadap pangsa pasar PDB, juga dipicu oleh tata kelola sector kelautan dan perikanan yang tidak terintegrasi dan cenderung terpecahpecah secara sektoral. Di samping itu belum adanya kesamaan persepsi terhadap masalah-masalah kelautan pada kalangan pemerintah, masyarakat, swasta, media, dan dunia akademis. Pengalaman kami selama bertugas sebagai Wakil Ketua Komite II DPD RI yang membidangi sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, yang salah satu di dalamnya adalah sektor kelautan dan perikanan, faktor lain yang tidak kalah penting dari belum optimalnya pengelolaan sektor keluatan dan perikanan adalah tingginya inkonsistensi kebijakan perencanaan dan pelaksanaan kegiatan pembangunan oleh departemen dan instansi terkait.
Inkonsistensi kebijakan perencanaan tersebut terjadi akibat tidak dilaksanakannya kegiatan perencanaan pembangunan di tingkat pusat sesuai dengan pendekatan aliran bawah-atas (bottom-up approach), yaitu perencanaan pembangunan yang mencerminkan muatan lokal dan aspirasi masyarakat setempat. Sebaliknya sampai saat ini kegiatan perencanaan dan pelaksanaan pembangunan di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan Pusat masih bersifat homogen terhadap semua wilayah (topdown approach). Celakanya, pemerintah daerah juga bersikap menerima kebijakan tersebut walaupun tidak sesuai dengan muatan perencanaan lokal. Akibatnya, kegiatan pembangunan tidak mengarah kepada sasaran. Lebih lanjut, daerah-daerah yang berada di kepulauan tidak mampu memaksimalkan berbagai sumber kelautan yang dimilikinya untuk mempercepat perkembangan ekonomi daerahnya.
Guna memaksimalkan potensi sumber daya kelautan dan perikanan, dalam rangka mempercepat perekonomian daerah, maka ada sejumlah upaya yang perlu ditempuh pemerintah dan berbagai pihak terkait. Pertama, meningkatkan pemberdayaan fungsi sosial ekonomi masyarakat, dan mendayagunakan secara optimal potensi ekonomi sumber daya kelautan dan perikanan dengan melakukan terobosan inovasi teknologi di bidang penangkapan dan budidaya, permodalan, data dan informasi. Kedua, meningkatkan pengawasan dan pengendalian penangkapan, melalui penerapan sistem monitoring, controlling dan surveillance (MCS) yang merupakan bagian integral dari rencana pengelolaan perikanan, penataan kembali kelembagaan pengawas, dan sarana pengawasan yang diperlukan.
Ketiga, melakukan pembenahan peraturan serta meningkatkan kinerja setiap komponen organisasi departemen, dan koordinasi antar instansi dan departemen. Ketiga, program ini hendaknya dilaksanakan secara terintegrasi, dan dapat dijadikan “framework” bagi pemerintah dan masyarakat dalam upaya untuk menyamakan persepsi antar sector terkait di bidang kelautan mengenai program jangka pendek, jangka menengah dan jangka panjang, yang melibatkan seluruh stakeholders. Hanya dengan kesamaan persepsi seluruh stakeholders, maka pembangunan sektor kelautan dan perikanan dapat menjadi ”Prime Mover” pembangunan ekonomi nasional, yang pro-growth, projob dan pro-poor Batam Pos Sabtu 13 November 2010 (halaman 4).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar