Memberdayakan wilayah perbatasan
Oleh: Djasarmen Purba, SH
SELAMA ini,
daerah perbatasan sering kali dijuluki sebagai ”beranda terdepan bangsa”. Namun, dalam kenyataannya sering kali tidak terurus. Bahkan daerah
perbatasan terus-terusan menjadi sumber konflik antar negara tetangga. Kasus
paling gress adalah ditangkapnya tiga petugas DKP oleh Polisi Diraja Malaysia.
Indonesia sebagai
negara maritim sebagaimana dikukuhkan dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the
Sea/ UNCLOS 1982), memiliki wilayah perairan
terluas, lebih luas dari wilayah daratan (3x luas daratan : luas daratan 2.027
km2, luas perairan 6.184.280 km2). Meskipunn
UNCLOS sudah diberlakukan selama 28 tahun, tetapi belum begitu banyak
tugas-tugas yang diamanatkan UNCLOS 1982 yang telah diselesaikan Indonesia .
Kondisi ini membuat
ketegangan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga terus terjadi dari
tahun ke tahun. Ketebatasan anggaran dan luasnya wilayah perbatasan yang harus
diselesaikan dengan negara tetangga acapkali menjadi masalah utama bagi
pemerintah untuk merampungkan tugas-tugasnya. Indonesia memiliki perbatasan
laut dengan 10 negara yaitu, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Timor Leste,
PNG, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.
Sebagian besar
negara-negara tersebut berada di sebelah utara Indonesia yang relatif
penduduknya lebih padat daripada penduduk pulau-pulau Indonesia yang berbatasan
dengan negaranegara tersebut. Permasalahan kawasan perbatasan darat dirasakan
lebih berat dan lebih rumit, karena penegasan garis batas (border lines) sampai hari ini belum mencapai kesepakatan, misalnya di
wilayah Kepulauan Riau (Kepri).
Padahal keberadaan
garis batas yang sudah sah secara hukum, sangat penting karena border lines ini merupakan persyaratan berdirinya sebuah
negara yang menyebutkan adanya suatu wilayah yang pasti; yang tentunya jelas
batasbatasnya, dan sekaligus menjadi prasarana utama penegakan wilayah
kedaulatan negara.
Namun bila batas
yang legal sebagaimana terdapat di wilayah perairan Kepri yang berbatasan
langsung dengan Malaysia belum dimiliki, paling tidak kedua negara yang
berbatasan harus memiliki batas sementara (provisional arrangement) sebagai border lines. Agar tidak membuka ruang bagi terjadinya border crimes seperti illegal logging/mining/fishing, human trafficking, penyelundupan senjata/narkoba/miras/ sembako, illegal immigration, perompakan (piracy) dan lain-lain di
zona perbatasan.
Seringkali maraknya
kejahatan di wilayah perbatasan tersebut tidak terlepas dari ketidakperdulian
masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Ini dipicu oleh tingkat
kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk
perbatasan Malaysia, Vietnam, dan Filipina, yang mengalami tingkat kemajuan
yang lebih pesat.
Selama puluhan
tahun wilayah perbatasan diperlakukan sebagai daerah belakang (periphery areas) dan tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah
pusat. Akibatnya masyarakat di
wilayah tersebut hampir tidak mengalami kemajuan dibandingkan saudara-saudaranya
di wilayah lain, maupun masyarakat di negara tetangga.
Kemiskinan yang
melanda masyarakat kita di wilayah perbatasan, serta kedekatan/keterikatan
kekerabatan dengan penduduk negara tetangga, sering dimanfaatkan oleh
masyarakat di negara tetangga untuk menjadikannya kaki tangan pencurian
kekayaan alam negara sendiri. Dalam kaitan tersebut perlu digalakkan kembali
program transmigrasi guna mengintegrasikan dengan masyarakat pendatang dari
wilayah lain Indonesia, sehingga mampu merekatkan rasa kebangsaan dan tanggung
jawab mereka sebagai anak bangsa. Peningkatan Peralatan Disamping itu, untuk mencegah maraknya
pencurian kekayaan alam dan peningkatan pengawasan perbatasan, pemerintah perlu
mempertimbangkan peningkatan kualitas peralatan dan anggaran bagi aparat yang
bertugas di wilayah perbatasan.
Sudah menjadi
rahasia umum, lemahnya aparat dalam melakukan pengawasan dan penindakan
terhadap pelanggaran perbatasan dan pencurian kekayaan alam negara akibat
canggihnya peralatan yang dimiliki para pencuri dibandingkan dengan peralatan
yang dimiliki aparat kita. Namun
demikian peningkatan peralatan dan anggaran tidaklah cukup, untuk melakukan
penanggulangan pelanggaran dan kejahatan di wilayah perbatasan, yang tidak
kalah penting lagi, koordinasi antar instansi harus ditingkatkan.
Seperti diketahui
wilayah perbatasan terdapat banyak instansi yang melakukan pengawasan, mulai,
Bea dan Cukai, Polairud, KPLP, DKP, Pemda, dan Angkatan Laut. Dalam prakteknya
di lapangan masingmasing instansi melakukan kerja sendiri tanpa terkoordinasi
satu sama lain, akibatnya banyak instansi dan aparat yang berada di perbatasan
tidak cukup efektif untuk menjaga perbatasan dari berbagai pelanggaran.
Kini sudah saatnya
dibentuk tim gabungan dari instansi tersebut dalam menjaga wilayah perbatasan
NKRI atau sudah selayaknya momen ini dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang di Ketuai Menteri Dalam Negeri
(Mendagri). Perundingan perbatasan di Kinabalu tanggal 6 September 2010 yang
akan datang harus melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemda yang di daerah
perbatasan. Kasus penangkapan tiga petugas DKP oleh polisi Diraja Malaysia
beberapa waktu lalu bukan saja menuntut segera diselesaikannya sengketa
perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.
Namun juga menghendaki adanya perubahan paradigma
kebijakan pembangunan wilayah perbatasan, dengan menempatkannya sebagai halaman
depan, bukan sebagai daerah pinggiran yang layak untuk dilupakan. (dimuat di batam pos, tanggal 4 september 2010).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar