Selasa, 08 Mei 2012

OPINI



Memberdayakan wilayah perbatasan



Oleh: Djasarmen Purba, SH



SELAMA ini, daerah perbatasan sering kali dijuluki sebagai ”beranda terdepan bangsa”. Namun, dalam kenyataannya sering kali tidak terurus. Bahkan daerah perbatasan terus-terusan menjadi sumber konflik antar negara tetangga. Kasus paling gress adalah ditangkapnya tiga petugas DKP oleh Polisi Diraja Malaysia.

Indonesia sebagai negara maritim sebagaimana dikukuhkan dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS 1982), memiliki wilayah perairan terluas, lebih luas dari wilayah daratan (3x luas daratan : luas daratan 2.027 km2, luas perairan 6.184.280 km2). Meskipunn UNCLOS sudah diberlakukan selama 28 tahun, tetapi belum begitu banyak tugas-tugas yang diamanatkan UNCLOS 1982 yang telah diselesaikan Indonesia.

Kondisi ini membuat ketegangan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga terus terjadi dari tahun ke tahun. Ketebatasan anggaran dan luasnya wilayah perbatasan yang harus diselesaikan dengan negara tetangga acapkali menjadi masalah utama bagi pemerintah untuk merampungkan tugas-tugasnya. Indonesia memiliki perbatasan laut dengan 10 negara yaitu, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Timor Leste, PNG, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.

Sebagian besar negara-negara tersebut berada di sebelah utara Indonesia yang relatif penduduknya lebih padat daripada penduduk pulau-pulau Indonesia yang berbatasan dengan negaranegara tersebut. Permasalahan kawasan perbatasan darat dirasakan lebih berat dan lebih rumit, karena penegasan garis batas (border lines) sampai hari ini belum mencapai kesepakatan, misalnya di wilayah Kepulauan Riau (Kepri).
Padahal keberadaan garis batas yang sudah sah secara hukum, sangat penting karena border lines ini merupakan persyaratan berdirinya sebuah negara yang menyebutkan adanya suatu wilayah yang pasti; yang tentunya jelas batasbatasnya, dan sekaligus menjadi prasarana utama penegakan wilayah kedaulatan negara.

Namun bila batas yang legal sebagaimana terdapat di wilayah perairan Kepri yang berbatasan langsung dengan Malaysia belum dimiliki, paling tidak kedua negara yang berbatasan harus memiliki batas sementara (provisional arrangement) sebagai border lines. Agar tidak membuka ruang bagi terjadinya border crimes seperti illegal logging/mining/fishing, human trafficking, penyelundupan senjata/narkoba/miras/ sembako, illegal immigration, perompakan (piracy) dan lain-lain di zona perbatasan.

Seringkali maraknya kejahatan di wilayah perbatasan tersebut tidak terlepas dari ketidakperdulian masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Ini dipicu oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk perbatasan Malaysia, Vietnam, dan Filipina, yang mengalami tingkat kemajuan yang lebih pesat.

Selama puluhan tahun wilayah perbatasan diperlakukan sebagai daerah belakang (periphery areas) dan tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Akibatnya masyarakat di wilayah tersebut hampir tidak mengalami kemajuan dibandingkan saudara-saudaranya di wilayah lain, maupun masyarakat di negara tetangga.

Kemiskinan yang melanda masyarakat kita di wilayah perbatasan, serta kedekatan/keterikatan kekerabatan dengan penduduk negara tetangga, sering dimanfaatkan oleh masyarakat di negara tetangga untuk menjadikannya kaki tangan pencurian kekayaan alam negara sendiri. Dalam kaitan tersebut perlu digalakkan kembali program transmigrasi guna mengintegrasikan dengan masyarakat pendatang dari wilayah lain Indonesia, sehingga mampu merekatkan rasa kebangsaan dan tanggung jawab mereka sebagai anak bangsa. Peningkatan Peralatan Disamping itu, untuk mencegah maraknya pencurian kekayaan alam dan peningkatan pengawasan perbatasan, pemerintah perlu mempertimbangkan peningkatan kualitas peralatan dan anggaran bagi aparat yang bertugas di wilayah perbatasan.

Sudah menjadi rahasia umum, lemahnya aparat dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran perbatasan dan pencurian kekayaan alam negara akibat canggihnya peralatan yang dimiliki para pencuri dibandingkan dengan peralatan yang dimiliki aparat kita. Namun demikian peningkatan peralatan dan anggaran tidaklah cukup, untuk melakukan penanggulangan pelanggaran dan kejahatan di wilayah perbatasan, yang tidak kalah penting lagi, koordinasi antar instansi harus ditingkatkan.

Seperti diketahui wilayah perbatasan terdapat banyak instansi yang melakukan pengawasan, mulai, Bea dan Cukai, Polairud, KPLP, DKP, Pemda, dan Angkatan Laut. Dalam prakteknya di lapangan masingmasing instansi melakukan kerja sendiri tanpa terkoordinasi satu sama lain, akibatnya banyak instansi dan aparat yang berada di perbatasan tidak cukup efektif untuk menjaga perbatasan dari berbagai pelanggaran.

Kini sudah saatnya dibentuk tim gabungan dari instansi tersebut dalam menjaga wilayah perbatasan NKRI atau sudah selayaknya momen ini dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang di Ketuai Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Perundingan perbatasan di Kinabalu tanggal 6 September 2010 yang akan datang harus melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemda yang di daerah perbatasan. Kasus penangkapan tiga petugas DKP oleh polisi Diraja Malaysia beberapa waktu lalu bukan saja menuntut segera diselesaikannya sengketa perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.
Namun juga menghendaki adanya perubahan paradigma kebijakan pembangunan wilayah perbatasan, dengan menempatkannya sebagai halaman depan, bukan sebagai daerah pinggiran yang layak untuk dilupakan. (dimuat di batam pos, tanggal 4 september 2010).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar