Revisi UU Migas dan
DBH Kepri
Oleh: Djasarmen Purba, SH
SALAH satu agenda
penting Pansus Pertambangan yang dibentuk DPD RI adalah usulan revisi atas
Undang- Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), yang
selama ini dinilai menujukkan keberpihakan yang besar kepada korporasi, namun
mengabaikan kepentingan masyarkat, khususnya masyarakat di daerah
pertambangan.Revisi atas UU Migas akan dapat menyentuh keseluruhan rantai nilai
kepengusahaan migas sejak sebelum penandatanganan kontrak, berjalannya kegiatan
eksplorasi, dan eksploitasi, maupun saat blok migas telah berproduksi hingga
menghasilkan pendapatan bagi negara dan daerah serta penggunaannya bagi
pembangunan.
Dengan kata lain revisi UU Migas akan menyangkut persoalan
transparansi dan akuntabilitas dari pelaksanaan kegiatan usaha migas Terkait
transparansi pendapatan di sektor hulu, pada draf revisi UU Migas memasukan
klausul tentang adanya informasi minimal yang seharusnya dimiliki oleh Pemda
dan masyarakat sekitar tambang.
Seperti diketahui, selama ini, Pemda tidak mendapatkan data
terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok yang berada di wilayahnya. UU No.22 Tahun 2001 dan PP No.35 Tahun
2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, menyatakan bahwa data mengenai volume
dan jumlah produksi migas di daerah merupakan kewenangan pusat, dalam hal ini
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ketiadaan data terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok
yang berada di wilayahnya, membuat pemda seringkali tidak mengetahui dengan
pasti berapa besar dana bagi hasil minyak dan gas bumi (DBH Migas) yang
harusnya diterima daerah. Begitu juga yang dialami oleh Provinsi Kepulauan Riau
(Kepri) sebagai daerah penghasil migas, selama ini.
Saat ini ada empat KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) BP MIGAS
yang berproduksi di wilayah Kepri (Anambas dan Natuna). Yakni ConocoPhillips
Indonesia, Star Energy (Kakap) Ltd, Premier Oil Natuna Sea BV, dan TAC Pertamina-PT
Pertalahan Arnebatara Natuna (PAN). Sedangkan yang bereksplorasi di Kepri ada
sembilan.
Antara lain Genting Oil Natuna Pte Ltd, Sanyen Oil and Gas Pte
Ltd, West Natuna Exploration Ltd, Indoreach Exploration Ltd, Lundin Baronang,
Lundin Cakalang, Lundin South Sokang, Pearl Oil, dan Titan Resources Natuna
Indonesia Ltd. Sebagai daerah penghasil, DBH Migas masih menjadi tulang
punggung bagi keuangan daerah Provinsi Kepri.
Saat ini Kepri mendapatkan bagian 30 persen
dari keuntungan secara keseluruhan. Dari
angka ini, daerah penghasil mendapat jatah 11-12 persen, untuk pemerataan 16
persen dan provinsi kebagian 6 persen. Secara umum anggaran daerah Provinsi
Kepri masih mengandalkan DBH migas dalam anggaran belanja daerah. Tahun ini
saja sumbangan DBH Migas sekitar 35 persen dari nilai APBD Provinsi Kepri
sebesar Rp1,9 triliun. Sebagai provinsi penghasil minyak dan gas, Kepri
mendapat jatah 15 persen dari keuntungan industri minyak secara nasional.
atah ini kemudian dibagi untuk kabupaten
penghasil, yakni Anambas dan Natuna, sebanyak 6 persen. Kemudian sebanyak 6
persen lainnya untuk pemerataan bagi kabupaten/ kota di Kepri. Sedangkan
Provinsi Kepri sendiri hanya mendapatkan 6 persen. Ketergantungan pada DBH
Migas tampak juga pada kondisi keuangan Kabupaten Anambas. Dari nilai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011 sebesar Rp685,9 miliar
(Rp685.909.122.995), sekitar 56 persennya disumbang oleh dana bagi hasil minyak
dan gas (DBH Migas), yakni sekitar Rp385 miliar. Kondisi serupa juga terjadi pada
APBD tahuntahun sebelumnya. Di 2010, DBH migas menyumbang Rp265,2 miliar
(sekitar 47 persen) untuk Rp573,2 miliar APBD Anambas.
Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas (DBH
Migas) yang diberikan pemerintah pusat untuk Provinsi Kepri tidak adil. Kepri hanya menerima pembagian DBH Migas sebesar 30
persen dan untuk pemerintah pusat 70 persen. Sedangkan Aceh, Riau dan
Kalimantan Timur dan Papua rosio pembagiannya justru sebaliknya, daerah
penghasil 70 persen sedangkan pusat 30 persen. Sebab itu maka rancangan Undang
Undang Migas seharusnya membuka ruang bagi daerah ikut menjadi pemegang saham
sehingga dana bagi hasil dan dividen bisa masuk ke kas daerah untuk memajukan
daerah bersangkutan.
Hal ini bisa dilakukan jika daerah diberi
hak membeli atau berpartisipasi dalam kepemilikan saham melalui pembentukan
badan usaha milik daerah (BUMD) maupun menggandeng pihak swasta.Bentuk lain
dari kejelasan yang perlu diberikan pada revisi UU Migas adalah pembagian hasil
migas dari awal atau diambilkan dari persentase penerimaan First Tranche Petroleum (FTP) negara. Saat ini daerah menerima dana bagi hasil
dari pendapatan bersih melalui kas negara.
UU hasil revisi harus mencantumkan bahwa contractor production sharin contract itu wajib menawarkan 10 persen participating interest kepada daerah baik sejak
disetujuinya plan of development, saat
perpanjangan, dan atau setelah ada perubahan. Revisi UU Migas yang kini sedang
berjalan di Senayan merupkan merupakan momentum yang tepat dan baik agar daerah
penghasil migas mendapatkan bagi hasil yang adil. Dalam kaiatan itu perlu
kiranya Pemda, DPRD dan seluruh komponen masyarakat Kepri untuk melakukan
tekanan ke DPR RI agar revisi atas UU Migas menunjukkan keberpihaknya yang
tegas kepada daerah penghasilan, seperti Kepri. (Dimuat di Batam pos, tanggal 26 Juli 2011)***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar