Selasa, 08 Mei 2012

OPINI


Revisi UU Migas dan 
DBH Kepri


Oleh: Djasarmen Purba, SH



SALAH satu agenda penting Pansus Pertambangan yang dibentuk DPD RI adalah usulan revisi atas Undang- Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), yang selama ini dinilai menujukkan keberpihakan yang besar kepada korporasi, namun mengabaikan kepentingan masyarkat, khususnya masyarakat di daerah pertambangan.Revisi atas UU Migas akan dapat menyentuh keseluruhan rantai nilai kepengusahaan migas sejak sebelum penandatanganan kontrak, berjalannya kegiatan eksplorasi, dan eksploitasi, maupun saat blok migas telah berproduksi hingga menghasilkan pendapatan bagi negara dan daerah serta penggunaannya bagi pembangunan.

Dengan kata lain revisi UU Migas akan menyangkut persoalan transparansi dan akuntabilitas dari pelaksanaan kegiatan usaha migas Terkait transparansi pendapatan di sektor hulu, pada draf revisi UU Migas memasukan klausul tentang adanya informasi minimal yang seharusnya dimiliki oleh Pemda dan masyarakat sekitar tambang.

Seperti diketahui, selama ini, Pemda tidak mendapatkan data terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok yang berada di wilayahnya. UU No.22 Tahun 2001 dan PP No.35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, menyatakan bahwa data mengenai volume dan jumlah produksi migas di daerah merupakan kewenangan pusat, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Ketiadaan data terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok yang berada di wilayahnya, membuat pemda seringkali tidak mengetahui dengan pasti berapa besar dana bagi hasil minyak dan gas bumi (DBH Migas) yang harusnya diterima daerah. Begitu juga yang dialami oleh Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai daerah penghasil migas, selama ini.


Saat ini ada empat KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) BP MIGAS yang berproduksi di wilayah Kepri (Anambas dan Natuna). Yakni ConocoPhillips Indonesia, Star Energy (Kakap) Ltd, Premier Oil Natuna Sea BV, dan TAC Pertamina-PT Pertalahan Arnebatara Natuna (PAN). Sedangkan yang bereksplorasi di Kepri ada sembilan.

Antara lain Genting Oil Natuna Pte Ltd, Sanyen Oil and Gas Pte Ltd, West Natuna Exploration Ltd, Indoreach Exploration Ltd, Lundin Baronang, Lundin Cakalang, Lundin South Sokang, Pearl Oil, dan Titan Resources Natuna Indonesia Ltd. Sebagai daerah penghasil, DBH Migas masih menjadi tulang punggung bagi keuangan daerah Provinsi Kepri.

Saat ini Kepri mendapatkan bagian 30 persen dari keuntungan secara keseluruhan. Dari angka ini, daerah penghasil mendapat jatah 11-12 persen, untuk pemerataan 16 persen dan provinsi kebagian 6 persen. Secara umum anggaran daerah Provinsi Kepri masih mengandalkan DBH migas dalam anggaran belanja daerah. Tahun ini saja sumbangan DBH Migas sekitar 35 persen dari nilai APBD Provinsi Kepri sebesar Rp1,9 triliun. Sebagai provinsi penghasil minyak dan gas, Kepri mendapat jatah 15 persen dari keuntungan industri minyak secara nasional. 

atah ini kemudian dibagi untuk kabupaten penghasil, yakni Anambas dan Natuna, sebanyak 6 persen. Kemudian sebanyak 6 persen lainnya untuk pemerataan bagi kabupaten/ kota di Kepri. Sedangkan Provinsi Kepri sendiri hanya mendapatkan 6 persen. Ketergantungan pada DBH Migas tampak juga pada kondisi keuangan Kabupaten Anambas. Dari nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011 sebesar Rp685,9 miliar (Rp685.909.122.995), sekitar 56 persennya disumbang oleh dana bagi hasil minyak dan gas (DBH Migas), yakni sekitar Rp385 miliar. Kondisi serupa juga terjadi pada APBD tahuntahun sebelumnya. Di 2010, DBH migas menyumbang Rp265,2 miliar (sekitar 47 persen) untuk Rp573,2 miliar APBD Anambas.

Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas (DBH Migas) yang diberikan pemerintah pusat untuk Provinsi Kepri tidak adil. Kepri hanya menerima pembagian DBH Migas sebesar 30 persen dan untuk pemerintah pusat 70 persen. Sedangkan Aceh, Riau dan Kalimantan Timur dan Papua rosio pembagiannya justru sebaliknya, daerah penghasil 70 persen sedangkan pusat 30 persen. Sebab itu maka rancangan Undang Undang Migas seharusnya membuka ruang bagi daerah ikut menjadi pemegang saham sehingga dana bagi hasil dan dividen bisa masuk ke kas daerah untuk memajukan daerah bersangkutan.

Hal ini bisa dilakukan jika daerah diberi hak membeli atau berpartisipasi dalam kepemilikan saham melalui pembentukan badan usaha milik daerah (BUMD) maupun menggandeng pihak swasta.Bentuk lain dari kejelasan yang perlu diberikan pada revisi UU Migas adalah pembagian hasil migas dari awal atau diambilkan dari persentase penerimaan First Tranche Petroleum (FTP) negara. Saat ini daerah menerima dana bagi hasil dari pendapatan bersih melalui kas negara.

UU hasil revisi harus mencantumkan bahwa contractor production sharin contract itu wajib menawarkan 10 persen participating interest kepada daerah baik sejak disetujuinya plan of development, saat perpanjangan, dan atau setelah ada perubahan. Revisi UU Migas yang kini sedang berjalan di Senayan merupkan merupakan momentum yang tepat dan baik agar daerah penghasil migas mendapatkan bagi hasil yang adil. Dalam kaiatan itu perlu kiranya Pemda, DPRD dan seluruh komponen masyarakat Kepri untuk melakukan tekanan ke DPR RI agar revisi atas UU Migas menunjukkan keberpihaknya yang tegas kepada daerah penghasilan, seperti Kepri. (Dimuat di Batam pos, tanggal 26 Juli 2011)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar