Selasa, 08 Mei 2012

OPINI


Sudah kah kita merdeka??

 Oleh: Djasarmen Purba, SH




KEMERDEKAAN, kata Bung Karno, politike onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Jembatan, ia penghubung antara apa yang diupayakan dimasa lalu dengan apa yang hendak dicapai di masa depan. Pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi, di Jalan Pengangsaan Timur,

sesungguhnya barulah pada tahap pelepasan diri dari cengkraman kolonialisme, yang merupakan syarat awal menuju kemerdekaan sesungguhnya, kemerdekaan sejati. Kemerdekaan sejati, merupakan citacita segenap anak bangsa yang dirumuskan para founding father dalam pembukaan UUD 1945. Di tahun 1964 dalam pidato ulang tahun kemerdekaan Indonesia, yang dia beri judul “Tahun Vivere Pericoloso”. Bung Karno meringkasnya dalam tiga rumusan penting, Trisakti:

Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi, dan Berkepribadian secara kebudayaan Namun bagi sebagian kecil para penganut paham liberalisme, kemerdekaan Indonesia berhenti ketika ditanda-tanganinya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB)—23 Agustus hingga 2 November 1949—dan “pengakuan” kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949, kemudian diikuti penarikan tentara Belanda dari Indonesia.

Padahal dilihat dari berbagai sudut, perjanjian KMB melanggengkan kekuasaan Belanda di Indonesia, pembayaran utang perang Belanda sebesar 4,5 miliar gulden, tidak segera diserahkannya Papua/Irian kepada Indonesia (akhirnya terpaksa direbut dengan kekuatan bersenjata), dan diubahnya bentuk negara dari kesatuan menjadi serikat (Republik Indonesia Serikat/RIS), sistem kabinet yang semula Presidentiel dirubah menjadi sistem Kabinet Parlementer.

Pada sisi lain Perjanjian KMB justru hendak membuka pintu Indonesia bagi dilangsungkannya penanaman modal asing. Sebelumnya Belanda memaksa dicoretnya pasal 33 UUD 1945. Belanda berpendapat ketentuan pasal
33 itu tidak memungkinkan penanaman modal asing di Indonesia. Beruntung RIS tidak berumur panjang. 17 Augustus 1950 Bung Karno memproklamirkan kembalinya Indonesia kepada NKRI dan pasal 33 dihidupkan kembali dalam pasal 38 UUDS 1950.

Kemudian terbit Dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945. Jelas bahwa agenda utama KMB adalah agenda liberalisasi sistem politik ketatanegaraan dan perekonomian Indonesia. Liberalisme dari beberapa sudut justru lebih tampak watak penjajah, ketimbang upaya membebaskan satu bangsa dari penghisapan oleh bangsa lain “I’exploitation de nation par nation”. Penjajahan, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, ketika tampil berpidato sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia— organisasi pergerakan kemerdekaan di negeri Belanda—di tahun 1926, merupakan cermin dari sifat serakah Barat untuk menguasai negeri lain dan memanfaatkan hasil negeri yang dijajah tersebut, disamping melemparkan kembali hasil-hasil negeri penjajah ke tanah jajahan.

Ini memang pas buat Indonesia yang luas dan kaya dan banyak penduduknya. Indonesia sebagai negeri penghasil juga pasar. Setelah kegagalan RIS, agenda mendorong liberalisasi di Indonesia tak juga surut. Pasca kejatuhan Bung Karno, pemerintahan Soeharto mengundang beramai-ramai modal asing masuk ke Indonesia, dan meresmikannya dengan UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

Sejak itu modal asing berbondongbondong mengeruk isi perut bumi Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, asing adalah pihak yang sesungguhnya berkuasa. Beberapa diantaranya Freeport di Papua, Newmont di NTB, Caltex di Riau atau Exxon Mobile dan banyak perusahaan minyak dan gas dunia yang nongkrong di Aceh dan Natuna. Setelah minyak dan gas disedot dari
perut bumi Indonesia, lalu dikirim ke negeri asalnya, kemudian diolah menjadi beragam jenis minyak; avtur, bensin, solar, minyak tanah dan lainlainnya.

Selanjutkan dijual kembali ke rakyat Indonesia, tentu dengan harga yang jauh lebih mahal. Dan seperti kata Bung Hatta “....Ini memang pas buat Indonesia yang luas dan kaya dan banyak penduduknya. Indonesia sebagai negeri penghasil juga pasar ” Tak cukup sampai disitu, agenda perluasan liberalisme disusun kembali usai kejatuhan Soeharto.

Permadi, SH, mantan politisi senior PDIP, seorang Soekarnois, dan tentu nasionalis sejati dalam sebuah diskusi di bilangan Tebet belum lama ini menengarai, keterlibatan pihak asing dalam perubahan yang telah jauh melenceng dari semangat dan amanat sila kelima Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang menganut kesetaraan (equal treatment).

Perlakuan setara dan sama antara penanam modal asing dengan penanam modal dalam negeri. Padahal dalam berbagai hal penanam modal dalam negeri kalah bersaing, baik dari aspek permodalan, teknologi, ilmu pengetahuan, sumber daya manusia, dan sebagainya.

Kemudian kita meyaksikan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Multi Nasional Corporation untuk sebesar-besar kemakmuran mereka. Ironisnya justru kemakmuran tidak dikecap penduduk di sekitar daerah penghasil sember daya alam bahkan daerah dimaksud masih masuk dalam wilayah garis kemiskinan. Entah bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta (seandainya masih hidup sekarang) melihat bangsa ini kini seolah-olah tergadai. Mungkin mereka akan protes, mungkin juga menulis, seperti ketika Hatta berkirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sostro Amijoyo di tahun 1955, ketika Ali mensahkan Undang-Undang Penanaman Modal yang dinilainya terlalu condong ke arah liberalisme, lebih baik kita mengusahakan sendiri, eksploitasi sumberdaya alam sendiri, bukan mengkerjasamakannya dengan asing.

Namun dewasa ini, ketika Republik telah mencapai umur 66 tahun, sudahkah kita merdeka? Kata orang, kita sedang mengisikemerdekaan, berdaulat di bidang ekonomi, bebas dari kemiskinan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Semoga! (dimuat di batam pos, tanggal 15 Agustus 2011).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar