Selasa, 08 Mei 2012

OPINI


Menggagas
”Kontak Politik”
untuk pilwako batam



Oleh: Djasarmen Purba, SH




Isu-isu mengenai pergantian kepemimpinan daerah melalui sebuah proses pemilihan langsung wali kota Batam yang direncanakan pada 5 Januari 2011, dalam beberapa waktu belakangan ini mendapat tempat yang khusus dalam berbagai interaksi sosial politik masyarakat Kota Batam.

Berbagai diskursus dalam ruang-ruang publik dipenuhi berbagai wacana, mulai dari soal figur kandidat, kendaraan politik, anggaran penyelenggaraan pilkada oleh KPUD, black campaign, money politics, dan berbagai wacana lainnya.

Namun sayangnya hingar-bingarnya perdebatan yang berlangsung di tengah masyarakat tersebut tampaknya masih belum mampu membangun hubungan programatik para calon kepala daerah itu dengan realitas sosialnya.

Perdebatan yang berlangsung masih terbatas pada hal-hal normatif dan kepentingan politik sesaat saja. Kalaupun perdebatan menyentuh program-program yang ditawarkan oleh para calon wali kota, hal tersebut baru terbatas pada jargon jargon yang membius tanpa makna.

Bahkan celakanya jargon-jargon tersebut justeru menjadi alat bagi si calon untuk menyajikan tontonan kepura-puraan belaka. Panggung-panggung politik yang disesaki kampanye, brosur, pamflet, dan banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas pengingkaran sang pemimpin. Tontonan kepura-puraan tersebut pada akhirnya melahirkan sikap trauma dan antipati rakyat terhadap para pemimpinnya.

Pilwako Batam yang berlangsung di tengah merosotnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya, menuntut setiap
calon wali kota Batam untuk melakukan berbagai terobosan politik untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Janji-janji politik yang diucapkan secara retoris di atas panggung kampanye telah kehilangan keampuhannya. Para calon harus memberikan alternatif yang lebih menjanjikan kepada rakyat.

Di antara berbagai alternatif tersebut adalah ”kontrak politik” yang bersifat mengikat antara si calon dan rakyatnya. Sebagaimana halnya pernah dilontarkan oleh seorang pengusaha sukses di Batam. Merujuk pada pendapat Thomas Hobbes, kontrak sosial atau kontrak politik itu terjadi karena empat hal yaitu, Pertama, ada fakta bahwa mereka samasama memiliki kebutuhan dasar. Kedua, jikalau tidak cukup barang-barang pokok untuk dibagi-bagikan, siapakah yang boleh memperolehnya? Ketiga, adanya fakta berkekurangan.

Keempat, jikalau kita tidak dapat berhasil dengan mengandalkan kekuatan sendiri, harapan apakah yang dapat kita miliki? Dari pengertian ini, jelas apa yang dimaksud dengan kontrak politik bertujuan untuk kebaikan bersama di antara pihak-pihak yang menandatangani kontrak tersebut. Bagi si calon wali kota, sejatinya kontrak politik adalah manifesto peneguhan sikap moral kepemimpinan dan kenegarawanan untuk sungguh-sungguh dan penuh kejujuran atas detail klausa pengikatan diri dengan rakyat. Kalau saja pemimpin berangkat dari semangat ini, maka kontrak politik menjadi alternatif ideal atas upaya pencarian figur sang kandidat.

Sementara bagi masyarakat kesepakatan kesepakatan tersebut merupakan salah satu instrumen bagi masyarakat untuk menguji kesungguhan sang kandidat. Disamping tersebut kontrak politik memberikan jaminan bahwa programprogram yang dijalankan oleh si calon jika kelak terpilih akan benar-benar memiliki keberpihakan pada masyarakat. Dalam perspektif Kota Batam, pemilihan wali kota pada 5 Januari 2011 nanti merupakan momentum strategis karena bukan hanya prosedurnya (demokrasi prosedural) dipilih langsung oleh rakyat sesuai hak politiknya, tetapi juga dapat menjadi media kontrak politik para calon kepala daerah untuk menjamin hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat koat Batam.

Secara sederhana ada beberapa point penting yang harus dipenuihi oleh tiap walikota terpilih yaitu; menjadikan Batam sebagai kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone/FTZ), merubah status lahan Rempang-Galang, menurunkan angka penganguran dan kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tiap klausul (isi kontrak) haruslah dibuat secara jelas dan terukur. Sehingga dengan demikian akan jelas indikator bila sukses (tercapai) atau tidaknya. Kontrak politik soal perubahan status lahan Rempang-Galang misalnya, harus jelas berapa lama Target waktu yang ditetapkan untuk perubahan lahan tersebut. Hal lain yang perlu dari sebuah kontrak politik disamping cara-cara pemenuhan kontrak, juga menyangkut kesepakatan cara dan proses melakukan tuntutan jika sebuah kontrak gagal dipenuhi oleh si calon wali kota yang menjanjikan sesuatu.

Misalnya jika si wali kota terpilih tidak berhasil mewujudkan isi kontrak politik maka yang bersangkutan bersedia turun ditengah masa jabatannya. Beberapa hal di atas merupakan asas-asas berkontrak, yang akan memposisikan apakah sebuah kontrak benar-benar memiliki kekuatan hukum, atau sekadar bermuatan norma sosial yang sulit untuk “diklaim”.

Jika isi klausul kontrak politik ternyata banyak mengandung hal-hal yang (secara hukum) kabur, tentunya hal ini adalah bentuk dari upaya manipulasi. Karena itu, sebagai seorang demokrat sejati, setiap calon wali kota Batam yang akan bertarung pada 5 Janurai 2011 nanti harus siap dan bersedia melakukan kontrak politik, untuk membawa perubahan yang berarti dan lebih baik atas nasib masyarakatnya. (dimuat di batam pos, tanggal 11 Oktober 2011) ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar