Membangkitkan kembali pancasila
Oleh: Djasarmen Purba, SH
Di hadapan sidang Dokuritsu Zyun bi Tyoosakai (Badan Penyelidik
Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia /BPUPKI),
dalam balutan kemejputih khasnya, 66 tahun lalu, Bung Karno menyampaikan
pidatonya yang sangat bersejarah;
Pancasila. Pancasila, ia tidak saja dasar bagi republic ini,
sebuah weltanschauung, namun juga sistem nilai bagi
kehidupan berjutajuta rakyat Indonesia .
Nilai-nilai yang pada dasarnya dimiliki tiap-tiap manusia Indonesia ,
yang dikerja dan dihormati karena dirinya sendiri, bonum honestum.
Sebagaimana dikatakan Bung Karno beberapa tahun setelah pidato
bersejarahnya itu, Pancasila sudah sejak lama ada, dan ia hanya menggalinya
dari dalam bumi manusia Indonesia .
Namun dewasa ini Pancasila dirasa kian meredup dan terpinggirkan.
Globasisasi yang ditandai berkuasanya liberalisme dan
kapitalisme semakin mengiring terjadinya krisis indentitas pada manusia Indonesia .
Nasionalisme tampak sebagai paham tua yang telah usang (verouderd), orang
cenderung gemar dengan segala yang berbau kosmopolitanisme, sebuah paham yang
tidak mengakui adanya bangsa.
Manusia dibiarkan bebas, tanpa batas, tanpa
indentitas, dan menjadi serupa (tunggal). Kegemaran pada kosmopolitansime telah
mendorong bangsa ini mundur jauh ke belakang, menjadi bangsa malas, dan
cenderung peniru. Segala apa yang berkembang di barat adalah apa yang harus
diikuti, meskipun ia tidak selamanya cocok dengan karakter dan kultur yang
hidup dan tumbuh pada bangsa ini.
Demokrasi liberal yang berkembang di barat,
dengan sistem pemilihan langsung yang dimamah mentah-mentah, telah
menyingkirkan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksaan dalam
permusyawaratan/ perwakilan. Ketersingkiran
sila ke-4 itu, karenanya memperkenalkan kita dengan sistem pemilihan langsung;
Pilkada, Pileg, Pilpres dan sebagainya, yang dilakukan dalam kerangka one man, one vote (satu orang untuk satu suara). Dewasa ini, segala
keputusan diupayakan dengan sistem voting (suara terbanyak).
Voting yang tercermin dalam berbagai pemilihan telah menempatkan
manusia Indonesia untuk selalu saling berhadapanhadapan dalam kompetisi
menang-kalah, hingga memaksanya untuk saling adu kuat mengerahkan segala
sumberdaya yang ada di arena pertarungan, bukan sebaliknya mencari kesepahaman
dari perbedaan-perbedaan yang ada.
Bila dikemudian hari, berbagai peristiwa
kekerasan yang membuntuti hasil pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada)
merebak di seantero nusantara, itu bukan saja pertanda hilangnya semangat kehendak
bersatu. Namun juga cermin dari gagalnya sistem yang tidak berpijak pada akar
budaya bangsa ini, serta para elit tidak mampu memahami cita-cita para bapak
pendiri bangsa sebagaimana yang terumus dalam Pancasila.
Di sisi lain pilihan atas desentralisasi
dan otonomi daerah sebagai koreksi pemerintahan sentralistik pada masa lalu,
pada kenyataan kenyataan mendorong muncul primordialisme, kedaerahan, ataupun
ikatan identitas serba sempit. Pada akhirnya memicu semakin menjauh kehendak
menjadi sebuah bangsa yang bersatu, dengan kata lain munculnya berbagai potensi
disintegrasi. Potensi disintegrasi acapkali bermula dari persoalan ekonomi.
Daerah kaya yang merasa menjadi sapi
perahan oleh pemerintah pusat, karena merasa bagi hasil yang diterima tidak
sebanding dengan kekayaan yang dimiliki, atau juga daerah miskin yang merasa
tidak diperhatikan, karena pemerintah cenderung pilih kasih, lebih berpihak
pada daerah-daerah kaya. Terlebih bila kita meyaksikan kenyataan ironis tidak
sedikit daerah kaya sumberdaya alam, namun masyarakat miskin papah, seperti di
Papua, NTB atau juga Kepulauan Riau (Kepri), Riau dan daerah- daerah lain. Isu
paling hangat belakangan yakni menyangkut perebutan kue divestasi 7 persen
saham PT.
Newmont Nusa Tenggara (NNT) antara pemerintah
pusat dan daerah, yang akhirnya dimiliki pusat melalui PIP (Perusaahaan
Investasi Pemerintah). Kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin condong
berpihak pada pasar dan modal dan mengesampingkan semangat keadilan sosial bagi
seluruh rakyat indonesia sebagaimana termaktup dalam sila ke-5 pancasila akan
semakin mendorong lenyapnya passion (tenaga dan semangat yang menyala-nyala) dan raison d’etre kehendak untuk terus bersama di rumah besar
Indonesia bagi sebagian rakyat di daerah.
Kecenderungan berubahnya haluan ekonomi
bangsa ini, dari keadilan sosial tercermin pada hasil amandemen atas pasal 33
UUD 1945. Dari sebelumnya 3 pasal
menjadi 5 pasal, dengan tambahan pasal 4 dan 5. Kritik kalangan akademisi
paling keras ditujukan pada pasal 4 yang menambahkan kalimat; ”Perekonomian
nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan,
kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi
nasional.”
Menurut kalangan akademisi kalimat
”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan
prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,...” membuka ruang bagi bercokolnya
sistem pasar yang kapitalistik. Argumentasi ini semakin dikuatkan setelah
lahirnya UU Penanaman Modal No 25 tahun 2007 yang dinilai semakin mendorong
dikuasainya perekonomian Indonesia oleh kekuatan modal asing.
Lahirnya UUPM meruupakan wujud dari memudarnya kedaulatan dan
kemandirian bangsa ini. Dalam kaitan itu, untuk menjawab berbagai persoalan,
ancaman disintegrasi dan krisis indentitas yang ada, maka adalah tugas suci (mission sacre) kita semua
untuk kembali membangkitkan dan membumikan Pancasila yang telah dengan cerdas
dan jitu dirumuskan oleh para founding father sebagai sumber
nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan nasional. ( Batam Pos, tanggal 1 Juni 2011).***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar