Selasa, 08 Mei 2012

OPINI


Membangkitkan kembali pancasila



Oleh: Djasarmen Purba, SH




Di hadapan sidang Dokuritsu Zyun bi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia /BPUPKI), dalam balutan kemejputih khasnya, 66 tahun lalu, Bung Karno menyampaikan pidatonya yang sangat bersejarah;

Pancasila. Pancasila, ia tidak saja dasar bagi republic ini, sebuah weltanschauung, namun juga sistem nilai bagi kehidupan berjutajuta rakyat Indonesia. Nilai-nilai yang pada dasarnya dimiliki tiap-tiap manusia Indonesia, yang dikerja dan dihormati karena dirinya sendiri, bonum honestum.

Sebagaimana dikatakan Bung Karno beberapa tahun setelah pidato bersejarahnya itu, Pancasila sudah sejak lama ada, dan ia hanya menggalinya dari dalam bumi manusia Indonesia. Namun dewasa ini Pancasila dirasa kian meredup dan terpinggirkan.

Globasisasi yang ditandai berkuasanya liberalisme dan kapitalisme semakin mengiring terjadinya krisis indentitas pada manusia Indonesia. Nasionalisme tampak sebagai paham tua yang telah usang (verouderd), orang cenderung gemar dengan segala yang berbau kosmopolitanisme, sebuah paham yang tidak mengakui adanya bangsa.

Manusia dibiarkan bebas, tanpa batas, tanpa indentitas, dan menjadi serupa (tunggal). Kegemaran pada kosmopolitansime telah mendorong bangsa ini mundur jauh ke belakang, menjadi bangsa malas, dan cenderung peniru. Segala apa yang berkembang di barat adalah apa yang harus diikuti, meskipun ia tidak selamanya cocok dengan karakter dan kultur yang hidup dan tumbuh pada bangsa ini.
Demokrasi liberal yang berkembang di barat, dengan sistem pemilihan langsung yang dimamah mentah-mentah, telah menyingkirkan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Ketersingkiran sila ke-4 itu, karenanya memperkenalkan kita dengan sistem pemilihan langsung; Pilkada, Pileg, Pilpres dan sebagainya, yang dilakukan dalam kerangka one man, one vote (satu orang untuk satu suara). Dewasa ini, segala keputusan diupayakan dengan sistem voting (suara terbanyak).

Voting yang tercermin dalam berbagai pemilihan telah menempatkan manusia Indonesia untuk selalu saling berhadapanhadapan dalam kompetisi menang-kalah, hingga memaksanya untuk saling adu kuat mengerahkan segala sumberdaya yang ada di arena pertarungan, bukan sebaliknya mencari kesepahaman dari perbedaan-perbedaan yang ada.

Bila dikemudian hari, berbagai peristiwa kekerasan yang membuntuti hasil pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) merebak di seantero nusantara, itu bukan saja pertanda hilangnya semangat kehendak bersatu. Namun juga cermin dari gagalnya sistem yang tidak berpijak pada akar budaya bangsa ini, serta para elit tidak mampu memahami cita-cita para bapak pendiri bangsa sebagaimana yang terumus dalam Pancasila.

Di sisi lain pilihan atas desentralisasi dan otonomi daerah sebagai koreksi pemerintahan sentralistik pada masa lalu, pada kenyataan kenyataan mendorong muncul primordialisme, kedaerahan, ataupun ikatan identitas serba sempit. Pada akhirnya memicu semakin menjauh kehendak menjadi sebuah bangsa yang bersatu, dengan kata lain munculnya berbagai potensi disintegrasi. Potensi disintegrasi acapkali bermula dari persoalan ekonomi.

Daerah kaya yang merasa menjadi sapi perahan oleh pemerintah pusat, karena merasa bagi hasil yang diterima tidak sebanding dengan kekayaan yang dimiliki, atau juga daerah miskin yang merasa tidak diperhatikan, karena pemerintah cenderung pilih kasih, lebih berpihak pada daerah-daerah kaya. Terlebih bila kita meyaksikan kenyataan ironis tidak sedikit daerah kaya sumberdaya alam, namun masyarakat miskin papah, seperti di Papua, NTB atau juga Kepulauan Riau (Kepri), Riau dan daerah- daerah lain. Isu paling hangat belakangan yakni menyangkut perebutan kue divestasi 7 persen saham PT.

Newmont Nusa Tenggara (NNT) antara pemerintah pusat dan daerah, yang akhirnya dimiliki pusat melalui PIP (Perusaahaan Investasi Pemerintah). Kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin condong berpihak pada pasar dan modal dan mengesampingkan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia sebagaimana termaktup dalam sila ke-5 pancasila akan semakin mendorong lenyapnya passion (tenaga dan semangat yang menyala-nyala) dan raison d’etre kehendak untuk terus bersama di rumah besar Indonesia bagi sebagian rakyat di daerah.

Kecenderungan berubahnya haluan ekonomi bangsa ini, dari keadilan sosial tercermin pada hasil amandemen atas pasal 33 UUD 1945. Dari sebelumnya 3 pasal menjadi 5 pasal, dengan tambahan pasal 4 dan 5. Kritik kalangan akademisi paling keras ditujukan pada pasal 4 yang menambahkan kalimat; ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Menurut kalangan akademisi kalimat ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,...” membuka ruang bagi bercokolnya sistem pasar yang kapitalistik. Argumentasi ini semakin dikuatkan setelah lahirnya UU Penanaman Modal No 25 tahun 2007 yang dinilai semakin mendorong dikuasainya perekonomian Indonesia oleh kekuatan modal asing.

Lahirnya UUPM meruupakan wujud dari memudarnya kedaulatan dan kemandirian bangsa ini. Dalam kaitan itu, untuk menjawab berbagai persoalan, ancaman disintegrasi dan krisis indentitas yang ada, maka adalah tugas suci (mission sacre) kita semua untuk kembali membangkitkan dan membumikan Pancasila yang telah dengan cerdas dan jitu dirumuskan oleh para founding father sebagai sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan nasional. ( Batam Pos, tanggal 1 Juni 2011).***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar