Sudah kah kita merdeka??
KEMERDEKAAN, kata Bung Karno, politike
onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan
tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Jembatan, ia penghubung
antara apa yang diupayakan dimasa lalu dengan apa yang hendak dicapai di masa
depan. Pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus
1945 pukul 10 pagi, di Jalan Pengangsaan Timur,
sesungguhnya barulah pada tahap pelepasan diri dari cengkraman
kolonialisme, yang merupakan syarat awal menuju kemerdekaan sesungguhnya,
kemerdekaan sejati. Kemerdekaan sejati, merupakan citacita segenap anak bangsa
yang dirumuskan para founding father dalam pembukaan UUD 1945. Di tahun
1964 dalam pidato ulang tahun kemerdekaan Indonesia, yang dia beri judul “Tahun
Vivere Pericoloso”. Bung Karno meringkasnya dalam tiga rumusan penting,
Trisakti:
Berdaulat secara politik, Berdikari secara
ekonomi, dan Berkepribadian secara kebudayaan Namun bagi sebagian kecil para
penganut paham liberalisme, kemerdekaan Indonesia berhenti ketika
ditanda-tanganinya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB)—23 Agustus hingga 2
November 1949—dan “pengakuan” kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27
Desember 1949, kemudian diikuti penarikan tentara Belanda dari Indonesia.
Padahal dilihat dari berbagai sudut,
perjanjian KMB melanggengkan kekuasaan Belanda di Indonesia, pembayaran utang
perang Belanda sebesar 4,5 miliar gulden, tidak segera diserahkannya
Papua/Irian kepada Indonesia (akhirnya terpaksa direbut dengan kekuatan bersenjata),
dan diubahnya bentuk negara dari kesatuan menjadi serikat (Republik Indonesia
Serikat/RIS), sistem kabinet yang semula Presidentiel dirubah menjadi sistem
Kabinet Parlementer.
Pada sisi lain Perjanjian KMB justru hendak
membuka pintu Indonesia bagi dilangsungkannya penanaman modal asing. Sebelumnya Belanda memaksa dicoretnya pasal 33 UUD 1945. Belanda
berpendapat ketentuan pasal
33 itu tidak memungkinkan penanaman modal asing di
Indonesia. Beruntung RIS tidak berumur panjang. 17
Augustus 1950 Bung Karno memproklamirkan kembalinya Indonesia kepada NKRI dan
pasal 33 dihidupkan kembali dalam pasal 38 UUDS 1950.
Kemudian terbit Dekrit 5 Juli 1959 kembali
ke UUD 1945. Jelas bahwa agenda
utama KMB adalah agenda liberalisasi sistem politik ketatanegaraan dan
perekonomian Indonesia. Liberalisme dari beberapa sudut justru lebih tampak
watak penjajah, ketimbang upaya membebaskan satu bangsa dari penghisapan oleh
bangsa lain “I’exploitation de nation par nation”. Penjajahan, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, ketika tampil berpidato
sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia— organisasi pergerakan kemerdekaan di
negeri Belanda—di tahun 1926, merupakan cermin dari sifat serakah Barat untuk
menguasai negeri lain dan memanfaatkan hasil negeri yang dijajah tersebut,
disamping melemparkan kembali hasil-hasil negeri penjajah ke tanah jajahan.
Ini memang pas buat Indonesia yang luas dan
kaya dan banyak penduduknya. Indonesia sebagai negeri penghasil juga pasar. Setelah
kegagalan RIS, agenda mendorong liberalisasi di Indonesia tak juga surut. Pasca
kejatuhan Bung Karno, pemerintahan Soeharto mengundang beramai-ramai modal
asing masuk ke Indonesia, dan meresmikannya dengan UU No 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing.
Sejak itu modal asing berbondongbondong mengeruk isi perut bumi Indonesia .
Dari Sabang sampai Merauke, asing adalah pihak yang sesungguhnya berkuasa. Beberapa diantaranya Freeport di
Papua, Newmont di NTB, Caltex di Riau atau Exxon Mobile
dan banyak perusahaan minyak dan gas dunia yang nongkrong di Aceh dan Natuna. Setelah
minyak dan gas disedot dari
perut bumi Indonesia , lalu
dikirim ke negeri asalnya, kemudian diolah menjadi beragam jenis minyak; avtur,
bensin, solar, minyak tanah dan lainlainnya.
Selanjutkan dijual kembali ke rakyat Indonesia , tentu dengan harga yang
jauh lebih mahal. Dan seperti kata Bung Hatta “....Ini memang pas buat
Indonesia yang luas dan kaya dan banyak penduduknya. Indonesia sebagai negeri
penghasil juga pasar ” Tak cukup sampai disitu, agenda perluasan liberalisme
disusun kembali usai kejatuhan Soeharto.
Permadi, SH, mantan politisi senior PDIP,
seorang Soekarnois, dan tentu nasionalis sejati dalam sebuah diskusi di
bilangan Tebet belum lama ini menengarai, keterlibatan pihak asing dalam
perubahan yang telah jauh melenceng dari semangat dan amanat sila kelima
Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU No 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UUPM) yang menganut kesetaraan (equal treatment).
Perlakuan setara dan sama antara penanam
modal asing dengan penanam modal dalam negeri. Padahal dalam berbagai hal
penanam modal dalam negeri kalah bersaing, baik dari aspek permodalan,
teknologi, ilmu pengetahuan, sumber daya manusia, dan sebagainya.
Kemudian kita meyaksikan bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, serta cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Multi
Nasional Corporation untuk sebesar-besar kemakmuran mereka. Ironisnya justru
kemakmuran tidak dikecap penduduk di sekitar daerah penghasil sember daya alam
bahkan daerah dimaksud masih masuk dalam wilayah garis kemiskinan. Entah
bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta (seandainya masih hidup sekarang) melihat
bangsa ini kini seolah-olah tergadai. Mungkin mereka akan protes, mungkin juga
menulis, seperti ketika Hatta berkirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sostro
Amijoyo di tahun 1955, ketika Ali mensahkan Undang-Undang Penanaman Modal yang
dinilainya terlalu condong ke arah liberalisme, lebih baik kita mengusahakan
sendiri, eksploitasi sumberdaya alam sendiri, bukan mengkerjasamakannya dengan
asing.
Namun dewasa ini, ketika
Republik telah mencapai umur 66 tahun, sudahkah kita merdeka? Kata orang, kita
sedang mengisikemerdekaan, berdaulat di bidang ekonomi, bebas dari kemiskinan
menuju masyarakat yang adil dan makmur. Semoga! (dimuat di batam pos, tanggal 15 Agustus 2011).***