Selasa, 08 Mei 2012

OPINI


Sudah kah kita merdeka??

 Oleh: Djasarmen Purba, SH




KEMERDEKAAN, kata Bung Karno, politike onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Jembatan, ia penghubung antara apa yang diupayakan dimasa lalu dengan apa yang hendak dicapai di masa depan. Pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus 1945 pukul 10 pagi, di Jalan Pengangsaan Timur,

sesungguhnya barulah pada tahap pelepasan diri dari cengkraman kolonialisme, yang merupakan syarat awal menuju kemerdekaan sesungguhnya, kemerdekaan sejati. Kemerdekaan sejati, merupakan citacita segenap anak bangsa yang dirumuskan para founding father dalam pembukaan UUD 1945. Di tahun 1964 dalam pidato ulang tahun kemerdekaan Indonesia, yang dia beri judul “Tahun Vivere Pericoloso”. Bung Karno meringkasnya dalam tiga rumusan penting, Trisakti:

Berdaulat secara politik, Berdikari secara ekonomi, dan Berkepribadian secara kebudayaan Namun bagi sebagian kecil para penganut paham liberalisme, kemerdekaan Indonesia berhenti ketika ditanda-tanganinya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB)—23 Agustus hingga 2 November 1949—dan “pengakuan” kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27 Desember 1949, kemudian diikuti penarikan tentara Belanda dari Indonesia.

Padahal dilihat dari berbagai sudut, perjanjian KMB melanggengkan kekuasaan Belanda di Indonesia, pembayaran utang perang Belanda sebesar 4,5 miliar gulden, tidak segera diserahkannya Papua/Irian kepada Indonesia (akhirnya terpaksa direbut dengan kekuatan bersenjata), dan diubahnya bentuk negara dari kesatuan menjadi serikat (Republik Indonesia Serikat/RIS), sistem kabinet yang semula Presidentiel dirubah menjadi sistem Kabinet Parlementer.

Pada sisi lain Perjanjian KMB justru hendak membuka pintu Indonesia bagi dilangsungkannya penanaman modal asing. Sebelumnya Belanda memaksa dicoretnya pasal 33 UUD 1945. Belanda berpendapat ketentuan pasal
33 itu tidak memungkinkan penanaman modal asing di Indonesia. Beruntung RIS tidak berumur panjang. 17 Augustus 1950 Bung Karno memproklamirkan kembalinya Indonesia kepada NKRI dan pasal 33 dihidupkan kembali dalam pasal 38 UUDS 1950.

Kemudian terbit Dekrit 5 Juli 1959 kembali ke UUD 1945. Jelas bahwa agenda utama KMB adalah agenda liberalisasi sistem politik ketatanegaraan dan perekonomian Indonesia. Liberalisme dari beberapa sudut justru lebih tampak watak penjajah, ketimbang upaya membebaskan satu bangsa dari penghisapan oleh bangsa lain “I’exploitation de nation par nation”. Penjajahan, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, ketika tampil berpidato sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia— organisasi pergerakan kemerdekaan di negeri Belanda—di tahun 1926, merupakan cermin dari sifat serakah Barat untuk menguasai negeri lain dan memanfaatkan hasil negeri yang dijajah tersebut, disamping melemparkan kembali hasil-hasil negeri penjajah ke tanah jajahan.

Ini memang pas buat Indonesia yang luas dan kaya dan banyak penduduknya. Indonesia sebagai negeri penghasil juga pasar. Setelah kegagalan RIS, agenda mendorong liberalisasi di Indonesia tak juga surut. Pasca kejatuhan Bung Karno, pemerintahan Soeharto mengundang beramai-ramai modal asing masuk ke Indonesia, dan meresmikannya dengan UU No 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

Sejak itu modal asing berbondongbondong mengeruk isi perut bumi Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, asing adalah pihak yang sesungguhnya berkuasa. Beberapa diantaranya Freeport di Papua, Newmont di NTB, Caltex di Riau atau Exxon Mobile dan banyak perusahaan minyak dan gas dunia yang nongkrong di Aceh dan Natuna. Setelah minyak dan gas disedot dari
perut bumi Indonesia, lalu dikirim ke negeri asalnya, kemudian diolah menjadi beragam jenis minyak; avtur, bensin, solar, minyak tanah dan lainlainnya.

Selanjutkan dijual kembali ke rakyat Indonesia, tentu dengan harga yang jauh lebih mahal. Dan seperti kata Bung Hatta “....Ini memang pas buat Indonesia yang luas dan kaya dan banyak penduduknya. Indonesia sebagai negeri penghasil juga pasar ” Tak cukup sampai disitu, agenda perluasan liberalisme disusun kembali usai kejatuhan Soeharto.

Permadi, SH, mantan politisi senior PDIP, seorang Soekarnois, dan tentu nasionalis sejati dalam sebuah diskusi di bilangan Tebet belum lama ini menengarai, keterlibatan pihak asing dalam perubahan yang telah jauh melenceng dari semangat dan amanat sila kelima Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU No 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM) yang menganut kesetaraan (equal treatment).

Perlakuan setara dan sama antara penanam modal asing dengan penanam modal dalam negeri. Padahal dalam berbagai hal penanam modal dalam negeri kalah bersaing, baik dari aspek permodalan, teknologi, ilmu pengetahuan, sumber daya manusia, dan sebagainya.

Kemudian kita meyaksikan bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya, serta cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Multi Nasional Corporation untuk sebesar-besar kemakmuran mereka. Ironisnya justru kemakmuran tidak dikecap penduduk di sekitar daerah penghasil sember daya alam bahkan daerah dimaksud masih masuk dalam wilayah garis kemiskinan. Entah bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta (seandainya masih hidup sekarang) melihat bangsa ini kini seolah-olah tergadai. Mungkin mereka akan protes, mungkin juga menulis, seperti ketika Hatta berkirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sostro Amijoyo di tahun 1955, ketika Ali mensahkan Undang-Undang Penanaman Modal yang dinilainya terlalu condong ke arah liberalisme, lebih baik kita mengusahakan sendiri, eksploitasi sumberdaya alam sendiri, bukan mengkerjasamakannya dengan asing.

Namun dewasa ini, ketika Republik telah mencapai umur 66 tahun, sudahkah kita merdeka? Kata orang, kita sedang mengisikemerdekaan, berdaulat di bidang ekonomi, bebas dari kemiskinan menuju masyarakat yang adil dan makmur. Semoga! (dimuat di batam pos, tanggal 15 Agustus 2011).***

OPINI



Memberdayakan wilayah perbatasan



Oleh: Djasarmen Purba, SH



SELAMA ini, daerah perbatasan sering kali dijuluki sebagai ”beranda terdepan bangsa”. Namun, dalam kenyataannya sering kali tidak terurus. Bahkan daerah perbatasan terus-terusan menjadi sumber konflik antar negara tetangga. Kasus paling gress adalah ditangkapnya tiga petugas DKP oleh Polisi Diraja Malaysia.

Indonesia sebagai negara maritim sebagaimana dikukuhkan dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea/ UNCLOS 1982), memiliki wilayah perairan terluas, lebih luas dari wilayah daratan (3x luas daratan : luas daratan 2.027 km2, luas perairan 6.184.280 km2). Meskipunn UNCLOS sudah diberlakukan selama 28 tahun, tetapi belum begitu banyak tugas-tugas yang diamanatkan UNCLOS 1982 yang telah diselesaikan Indonesia.

Kondisi ini membuat ketegangan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga terus terjadi dari tahun ke tahun. Ketebatasan anggaran dan luasnya wilayah perbatasan yang harus diselesaikan dengan negara tetangga acapkali menjadi masalah utama bagi pemerintah untuk merampungkan tugas-tugasnya. Indonesia memiliki perbatasan laut dengan 10 negara yaitu, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Timor Leste, PNG, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.

Sebagian besar negara-negara tersebut berada di sebelah utara Indonesia yang relatif penduduknya lebih padat daripada penduduk pulau-pulau Indonesia yang berbatasan dengan negaranegara tersebut. Permasalahan kawasan perbatasan darat dirasakan lebih berat dan lebih rumit, karena penegasan garis batas (border lines) sampai hari ini belum mencapai kesepakatan, misalnya di wilayah Kepulauan Riau (Kepri).
Padahal keberadaan garis batas yang sudah sah secara hukum, sangat penting karena border lines ini merupakan persyaratan berdirinya sebuah negara yang menyebutkan adanya suatu wilayah yang pasti; yang tentunya jelas batasbatasnya, dan sekaligus menjadi prasarana utama penegakan wilayah kedaulatan negara.

Namun bila batas yang legal sebagaimana terdapat di wilayah perairan Kepri yang berbatasan langsung dengan Malaysia belum dimiliki, paling tidak kedua negara yang berbatasan harus memiliki batas sementara (provisional arrangement) sebagai border lines. Agar tidak membuka ruang bagi terjadinya border crimes seperti illegal logging/mining/fishing, human trafficking, penyelundupan senjata/narkoba/miras/ sembako, illegal immigration, perompakan (piracy) dan lain-lain di zona perbatasan.

Seringkali maraknya kejahatan di wilayah perbatasan tersebut tidak terlepas dari ketidakperdulian masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Ini dipicu oleh tingkat kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk perbatasan Malaysia, Vietnam, dan Filipina, yang mengalami tingkat kemajuan yang lebih pesat.

Selama puluhan tahun wilayah perbatasan diperlakukan sebagai daerah belakang (periphery areas) dan tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah pusat. Akibatnya masyarakat di wilayah tersebut hampir tidak mengalami kemajuan dibandingkan saudara-saudaranya di wilayah lain, maupun masyarakat di negara tetangga.

Kemiskinan yang melanda masyarakat kita di wilayah perbatasan, serta kedekatan/keterikatan kekerabatan dengan penduduk negara tetangga, sering dimanfaatkan oleh masyarakat di negara tetangga untuk menjadikannya kaki tangan pencurian kekayaan alam negara sendiri. Dalam kaitan tersebut perlu digalakkan kembali program transmigrasi guna mengintegrasikan dengan masyarakat pendatang dari wilayah lain Indonesia, sehingga mampu merekatkan rasa kebangsaan dan tanggung jawab mereka sebagai anak bangsa. Peningkatan Peralatan Disamping itu, untuk mencegah maraknya pencurian kekayaan alam dan peningkatan pengawasan perbatasan, pemerintah perlu mempertimbangkan peningkatan kualitas peralatan dan anggaran bagi aparat yang bertugas di wilayah perbatasan.

Sudah menjadi rahasia umum, lemahnya aparat dalam melakukan pengawasan dan penindakan terhadap pelanggaran perbatasan dan pencurian kekayaan alam negara akibat canggihnya peralatan yang dimiliki para pencuri dibandingkan dengan peralatan yang dimiliki aparat kita. Namun demikian peningkatan peralatan dan anggaran tidaklah cukup, untuk melakukan penanggulangan pelanggaran dan kejahatan di wilayah perbatasan, yang tidak kalah penting lagi, koordinasi antar instansi harus ditingkatkan.

Seperti diketahui wilayah perbatasan terdapat banyak instansi yang melakukan pengawasan, mulai, Bea dan Cukai, Polairud, KPLP, DKP, Pemda, dan Angkatan Laut. Dalam prakteknya di lapangan masingmasing instansi melakukan kerja sendiri tanpa terkoordinasi satu sama lain, akibatnya banyak instansi dan aparat yang berada di perbatasan tidak cukup efektif untuk menjaga perbatasan dari berbagai pelanggaran.

Kini sudah saatnya dibentuk tim gabungan dari instansi tersebut dalam menjaga wilayah perbatasan NKRI atau sudah selayaknya momen ini dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang di Ketuai Menteri Dalam Negeri (Mendagri). Perundingan perbatasan di Kinabalu tanggal 6 September 2010 yang akan datang harus melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemda yang di daerah perbatasan. Kasus penangkapan tiga petugas DKP oleh polisi Diraja Malaysia beberapa waktu lalu bukan saja menuntut segera diselesaikannya sengketa perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.
Namun juga menghendaki adanya perubahan paradigma kebijakan pembangunan wilayah perbatasan, dengan menempatkannya sebagai halaman depan, bukan sebagai daerah pinggiran yang layak untuk dilupakan. (dimuat di batam pos, tanggal 4 september 2010).***

OPINI


Revisi UU Migas dan 
DBH Kepri


Oleh: Djasarmen Purba, SH



SALAH satu agenda penting Pansus Pertambangan yang dibentuk DPD RI adalah usulan revisi atas Undang- Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), yang selama ini dinilai menujukkan keberpihakan yang besar kepada korporasi, namun mengabaikan kepentingan masyarkat, khususnya masyarakat di daerah pertambangan.Revisi atas UU Migas akan dapat menyentuh keseluruhan rantai nilai kepengusahaan migas sejak sebelum penandatanganan kontrak, berjalannya kegiatan eksplorasi, dan eksploitasi, maupun saat blok migas telah berproduksi hingga menghasilkan pendapatan bagi negara dan daerah serta penggunaannya bagi pembangunan.

Dengan kata lain revisi UU Migas akan menyangkut persoalan transparansi dan akuntabilitas dari pelaksanaan kegiatan usaha migas Terkait transparansi pendapatan di sektor hulu, pada draf revisi UU Migas memasukan klausul tentang adanya informasi minimal yang seharusnya dimiliki oleh Pemda dan masyarakat sekitar tambang.

Seperti diketahui, selama ini, Pemda tidak mendapatkan data terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok yang berada di wilayahnya. UU No.22 Tahun 2001 dan PP No.35 Tahun 2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, menyatakan bahwa data mengenai volume dan jumlah produksi migas di daerah merupakan kewenangan pusat, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).

Ketiadaan data terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok yang berada di wilayahnya, membuat pemda seringkali tidak mengetahui dengan pasti berapa besar dana bagi hasil minyak dan gas bumi (DBH Migas) yang harusnya diterima daerah. Begitu juga yang dialami oleh Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) sebagai daerah penghasil migas, selama ini.


Saat ini ada empat KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) BP MIGAS yang berproduksi di wilayah Kepri (Anambas dan Natuna). Yakni ConocoPhillips Indonesia, Star Energy (Kakap) Ltd, Premier Oil Natuna Sea BV, dan TAC Pertamina-PT Pertalahan Arnebatara Natuna (PAN). Sedangkan yang bereksplorasi di Kepri ada sembilan.

Antara lain Genting Oil Natuna Pte Ltd, Sanyen Oil and Gas Pte Ltd, West Natuna Exploration Ltd, Indoreach Exploration Ltd, Lundin Baronang, Lundin Cakalang, Lundin South Sokang, Pearl Oil, dan Titan Resources Natuna Indonesia Ltd. Sebagai daerah penghasil, DBH Migas masih menjadi tulang punggung bagi keuangan daerah Provinsi Kepri.

Saat ini Kepri mendapatkan bagian 30 persen dari keuntungan secara keseluruhan. Dari angka ini, daerah penghasil mendapat jatah 11-12 persen, untuk pemerataan 16 persen dan provinsi kebagian 6 persen. Secara umum anggaran daerah Provinsi Kepri masih mengandalkan DBH migas dalam anggaran belanja daerah. Tahun ini saja sumbangan DBH Migas sekitar 35 persen dari nilai APBD Provinsi Kepri sebesar Rp1,9 triliun. Sebagai provinsi penghasil minyak dan gas, Kepri mendapat jatah 15 persen dari keuntungan industri minyak secara nasional. 

atah ini kemudian dibagi untuk kabupaten penghasil, yakni Anambas dan Natuna, sebanyak 6 persen. Kemudian sebanyak 6 persen lainnya untuk pemerataan bagi kabupaten/ kota di Kepri. Sedangkan Provinsi Kepri sendiri hanya mendapatkan 6 persen. Ketergantungan pada DBH Migas tampak juga pada kondisi keuangan Kabupaten Anambas. Dari nilai Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011 sebesar Rp685,9 miliar (Rp685.909.122.995), sekitar 56 persennya disumbang oleh dana bagi hasil minyak dan gas (DBH Migas), yakni sekitar Rp385 miliar. Kondisi serupa juga terjadi pada APBD tahuntahun sebelumnya. Di 2010, DBH migas menyumbang Rp265,2 miliar (sekitar 47 persen) untuk Rp573,2 miliar APBD Anambas.

Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas (DBH Migas) yang diberikan pemerintah pusat untuk Provinsi Kepri tidak adil. Kepri hanya menerima pembagian DBH Migas sebesar 30 persen dan untuk pemerintah pusat 70 persen. Sedangkan Aceh, Riau dan Kalimantan Timur dan Papua rosio pembagiannya justru sebaliknya, daerah penghasil 70 persen sedangkan pusat 30 persen. Sebab itu maka rancangan Undang Undang Migas seharusnya membuka ruang bagi daerah ikut menjadi pemegang saham sehingga dana bagi hasil dan dividen bisa masuk ke kas daerah untuk memajukan daerah bersangkutan.

Hal ini bisa dilakukan jika daerah diberi hak membeli atau berpartisipasi dalam kepemilikan saham melalui pembentukan badan usaha milik daerah (BUMD) maupun menggandeng pihak swasta.Bentuk lain dari kejelasan yang perlu diberikan pada revisi UU Migas adalah pembagian hasil migas dari awal atau diambilkan dari persentase penerimaan First Tranche Petroleum (FTP) negara. Saat ini daerah menerima dana bagi hasil dari pendapatan bersih melalui kas negara.

UU hasil revisi harus mencantumkan bahwa contractor production sharin contract itu wajib menawarkan 10 persen participating interest kepada daerah baik sejak disetujuinya plan of development, saat perpanjangan, dan atau setelah ada perubahan. Revisi UU Migas yang kini sedang berjalan di Senayan merupkan merupakan momentum yang tepat dan baik agar daerah penghasil migas mendapatkan bagi hasil yang adil. Dalam kaiatan itu perlu kiranya Pemda, DPRD dan seluruh komponen masyarakat Kepri untuk melakukan tekanan ke DPR RI agar revisi atas UU Migas menunjukkan keberpihaknya yang tegas kepada daerah penghasilan, seperti Kepri. (Dimuat di Batam pos, tanggal 26 Juli 2011)***

OPINI


Menggagas
”Kontak Politik”
untuk pilwako batam



Oleh: Djasarmen Purba, SH




Isu-isu mengenai pergantian kepemimpinan daerah melalui sebuah proses pemilihan langsung wali kota Batam yang direncanakan pada 5 Januari 2011, dalam beberapa waktu belakangan ini mendapat tempat yang khusus dalam berbagai interaksi sosial politik masyarakat Kota Batam.

Berbagai diskursus dalam ruang-ruang publik dipenuhi berbagai wacana, mulai dari soal figur kandidat, kendaraan politik, anggaran penyelenggaraan pilkada oleh KPUD, black campaign, money politics, dan berbagai wacana lainnya.

Namun sayangnya hingar-bingarnya perdebatan yang berlangsung di tengah masyarakat tersebut tampaknya masih belum mampu membangun hubungan programatik para calon kepala daerah itu dengan realitas sosialnya.

Perdebatan yang berlangsung masih terbatas pada hal-hal normatif dan kepentingan politik sesaat saja. Kalaupun perdebatan menyentuh program-program yang ditawarkan oleh para calon wali kota, hal tersebut baru terbatas pada jargon jargon yang membius tanpa makna.

Bahkan celakanya jargon-jargon tersebut justeru menjadi alat bagi si calon untuk menyajikan tontonan kepura-puraan belaka. Panggung-panggung politik yang disesaki kampanye, brosur, pamflet, dan banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas pengingkaran sang pemimpin. Tontonan kepura-puraan tersebut pada akhirnya melahirkan sikap trauma dan antipati rakyat terhadap para pemimpinnya.

Pilwako Batam yang berlangsung di tengah merosotnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya, menuntut setiap
calon wali kota Batam untuk melakukan berbagai terobosan politik untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Janji-janji politik yang diucapkan secara retoris di atas panggung kampanye telah kehilangan keampuhannya. Para calon harus memberikan alternatif yang lebih menjanjikan kepada rakyat.

Di antara berbagai alternatif tersebut adalah ”kontrak politik” yang bersifat mengikat antara si calon dan rakyatnya. Sebagaimana halnya pernah dilontarkan oleh seorang pengusaha sukses di Batam. Merujuk pada pendapat Thomas Hobbes, kontrak sosial atau kontrak politik itu terjadi karena empat hal yaitu, Pertama, ada fakta bahwa mereka samasama memiliki kebutuhan dasar. Kedua, jikalau tidak cukup barang-barang pokok untuk dibagi-bagikan, siapakah yang boleh memperolehnya? Ketiga, adanya fakta berkekurangan.

Keempat, jikalau kita tidak dapat berhasil dengan mengandalkan kekuatan sendiri, harapan apakah yang dapat kita miliki? Dari pengertian ini, jelas apa yang dimaksud dengan kontrak politik bertujuan untuk kebaikan bersama di antara pihak-pihak yang menandatangani kontrak tersebut. Bagi si calon wali kota, sejatinya kontrak politik adalah manifesto peneguhan sikap moral kepemimpinan dan kenegarawanan untuk sungguh-sungguh dan penuh kejujuran atas detail klausa pengikatan diri dengan rakyat. Kalau saja pemimpin berangkat dari semangat ini, maka kontrak politik menjadi alternatif ideal atas upaya pencarian figur sang kandidat.

Sementara bagi masyarakat kesepakatan kesepakatan tersebut merupakan salah satu instrumen bagi masyarakat untuk menguji kesungguhan sang kandidat. Disamping tersebut kontrak politik memberikan jaminan bahwa programprogram yang dijalankan oleh si calon jika kelak terpilih akan benar-benar memiliki keberpihakan pada masyarakat. Dalam perspektif Kota Batam, pemilihan wali kota pada 5 Januari 2011 nanti merupakan momentum strategis karena bukan hanya prosedurnya (demokrasi prosedural) dipilih langsung oleh rakyat sesuai hak politiknya, tetapi juga dapat menjadi media kontrak politik para calon kepala daerah untuk menjamin hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat koat Batam.

Secara sederhana ada beberapa point penting yang harus dipenuihi oleh tiap walikota terpilih yaitu; menjadikan Batam sebagai kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone/FTZ), merubah status lahan Rempang-Galang, menurunkan angka penganguran dan kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tiap klausul (isi kontrak) haruslah dibuat secara jelas dan terukur. Sehingga dengan demikian akan jelas indikator bila sukses (tercapai) atau tidaknya. Kontrak politik soal perubahan status lahan Rempang-Galang misalnya, harus jelas berapa lama Target waktu yang ditetapkan untuk perubahan lahan tersebut. Hal lain yang perlu dari sebuah kontrak politik disamping cara-cara pemenuhan kontrak, juga menyangkut kesepakatan cara dan proses melakukan tuntutan jika sebuah kontrak gagal dipenuhi oleh si calon wali kota yang menjanjikan sesuatu.

Misalnya jika si wali kota terpilih tidak berhasil mewujudkan isi kontrak politik maka yang bersangkutan bersedia turun ditengah masa jabatannya. Beberapa hal di atas merupakan asas-asas berkontrak, yang akan memposisikan apakah sebuah kontrak benar-benar memiliki kekuatan hukum, atau sekadar bermuatan norma sosial yang sulit untuk “diklaim”.

Jika isi klausul kontrak politik ternyata banyak mengandung hal-hal yang (secara hukum) kabur, tentunya hal ini adalah bentuk dari upaya manipulasi. Karena itu, sebagai seorang demokrat sejati, setiap calon wali kota Batam yang akan bertarung pada 5 Janurai 2011 nanti harus siap dan bersedia melakukan kontrak politik, untuk membawa perubahan yang berarti dan lebih baik atas nasib masyarakatnya. (dimuat di batam pos, tanggal 11 Oktober 2011) ***

OPINI


Membangkitkan kembali pancasila



Oleh: Djasarmen Purba, SH




Di hadapan sidang Dokuritsu Zyun bi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia /BPUPKI), dalam balutan kemejputih khasnya, 66 tahun lalu, Bung Karno menyampaikan pidatonya yang sangat bersejarah;

Pancasila. Pancasila, ia tidak saja dasar bagi republic ini, sebuah weltanschauung, namun juga sistem nilai bagi kehidupan berjutajuta rakyat Indonesia. Nilai-nilai yang pada dasarnya dimiliki tiap-tiap manusia Indonesia, yang dikerja dan dihormati karena dirinya sendiri, bonum honestum.

Sebagaimana dikatakan Bung Karno beberapa tahun setelah pidato bersejarahnya itu, Pancasila sudah sejak lama ada, dan ia hanya menggalinya dari dalam bumi manusia Indonesia. Namun dewasa ini Pancasila dirasa kian meredup dan terpinggirkan.

Globasisasi yang ditandai berkuasanya liberalisme dan kapitalisme semakin mengiring terjadinya krisis indentitas pada manusia Indonesia. Nasionalisme tampak sebagai paham tua yang telah usang (verouderd), orang cenderung gemar dengan segala yang berbau kosmopolitanisme, sebuah paham yang tidak mengakui adanya bangsa.

Manusia dibiarkan bebas, tanpa batas, tanpa indentitas, dan menjadi serupa (tunggal). Kegemaran pada kosmopolitansime telah mendorong bangsa ini mundur jauh ke belakang, menjadi bangsa malas, dan cenderung peniru. Segala apa yang berkembang di barat adalah apa yang harus diikuti, meskipun ia tidak selamanya cocok dengan karakter dan kultur yang hidup dan tumbuh pada bangsa ini.
Demokrasi liberal yang berkembang di barat, dengan sistem pemilihan langsung yang dimamah mentah-mentah, telah menyingkirkan sila kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksaan dalam permusyawaratan/ perwakilan. Ketersingkiran sila ke-4 itu, karenanya memperkenalkan kita dengan sistem pemilihan langsung; Pilkada, Pileg, Pilpres dan sebagainya, yang dilakukan dalam kerangka one man, one vote (satu orang untuk satu suara). Dewasa ini, segala keputusan diupayakan dengan sistem voting (suara terbanyak).

Voting yang tercermin dalam berbagai pemilihan telah menempatkan manusia Indonesia untuk selalu saling berhadapanhadapan dalam kompetisi menang-kalah, hingga memaksanya untuk saling adu kuat mengerahkan segala sumberdaya yang ada di arena pertarungan, bukan sebaliknya mencari kesepahaman dari perbedaan-perbedaan yang ada.

Bila dikemudian hari, berbagai peristiwa kekerasan yang membuntuti hasil pemilihan langsung kepala daerah (Pilkada) merebak di seantero nusantara, itu bukan saja pertanda hilangnya semangat kehendak bersatu. Namun juga cermin dari gagalnya sistem yang tidak berpijak pada akar budaya bangsa ini, serta para elit tidak mampu memahami cita-cita para bapak pendiri bangsa sebagaimana yang terumus dalam Pancasila.

Di sisi lain pilihan atas desentralisasi dan otonomi daerah sebagai koreksi pemerintahan sentralistik pada masa lalu, pada kenyataan kenyataan mendorong muncul primordialisme, kedaerahan, ataupun ikatan identitas serba sempit. Pada akhirnya memicu semakin menjauh kehendak menjadi sebuah bangsa yang bersatu, dengan kata lain munculnya berbagai potensi disintegrasi. Potensi disintegrasi acapkali bermula dari persoalan ekonomi.

Daerah kaya yang merasa menjadi sapi perahan oleh pemerintah pusat, karena merasa bagi hasil yang diterima tidak sebanding dengan kekayaan yang dimiliki, atau juga daerah miskin yang merasa tidak diperhatikan, karena pemerintah cenderung pilih kasih, lebih berpihak pada daerah-daerah kaya. Terlebih bila kita meyaksikan kenyataan ironis tidak sedikit daerah kaya sumberdaya alam, namun masyarakat miskin papah, seperti di Papua, NTB atau juga Kepulauan Riau (Kepri), Riau dan daerah- daerah lain. Isu paling hangat belakangan yakni menyangkut perebutan kue divestasi 7 persen saham PT.

Newmont Nusa Tenggara (NNT) antara pemerintah pusat dan daerah, yang akhirnya dimiliki pusat melalui PIP (Perusaahaan Investasi Pemerintah). Kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin condong berpihak pada pasar dan modal dan mengesampingkan semangat keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia sebagaimana termaktup dalam sila ke-5 pancasila akan semakin mendorong lenyapnya passion (tenaga dan semangat yang menyala-nyala) dan raison d’etre kehendak untuk terus bersama di rumah besar Indonesia bagi sebagian rakyat di daerah.

Kecenderungan berubahnya haluan ekonomi bangsa ini, dari keadilan sosial tercermin pada hasil amandemen atas pasal 33 UUD 1945. Dari sebelumnya 3 pasal menjadi 5 pasal, dengan tambahan pasal 4 dan 5. Kritik kalangan akademisi paling keras ditujukan pada pasal 4 yang menambahkan kalimat; ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.”

Menurut kalangan akademisi kalimat ”Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,...” membuka ruang bagi bercokolnya sistem pasar yang kapitalistik. Argumentasi ini semakin dikuatkan setelah lahirnya UU Penanaman Modal No 25 tahun 2007 yang dinilai semakin mendorong dikuasainya perekonomian Indonesia oleh kekuatan modal asing.

Lahirnya UUPM meruupakan wujud dari memudarnya kedaulatan dan kemandirian bangsa ini. Dalam kaitan itu, untuk menjawab berbagai persoalan, ancaman disintegrasi dan krisis indentitas yang ada, maka adalah tugas suci (mission sacre) kita semua untuk kembali membangkitkan dan membumikan Pancasila yang telah dengan cerdas dan jitu dirumuskan oleh para founding father sebagai sumber nilai, kerangka berfikir, serta asas moralitas bagi pembangunan nasional. ( Batam Pos, tanggal 1 Juni 2011).***