Senin, 17 Desember 2012
Sabtu, 15 Desember 2012
Jumat, 30 November 2012
Sabtu, 24 November 2012
Kamis, 22 November 2012
Kamis, 15 November 2012
Kamis, 08 November 2012
Selasa, 30 Oktober 2012
Jumat, 26 Oktober 2012
Selasa, 16 Oktober 2012
Minggu, 14 Oktober 2012
Senin, 03 September 2012
Minggu, 02 September 2012
Jumat, 24 Agustus 2012
OPINI
Merdeka
Dari, Merdeka Untuk
Oleh:
Djasarmen Purba, SH
Mengikuti jalan
fikiran Erich Formm, semangat pendeklarasian kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, pukul 10 pagi di jalan
Pengangsaan Timur itu yang disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta atas nama
bangsa Indonesia, sesungguhnya bukanlah sekedar merdeka dari (free from), namun juga, merdeka untuk (free to).
Karena
itu, proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan sekedar penegaskan pemindahan
kekuasaan dari bangsa Jepang kepada Bangsa Indonesia. Lebih jauh, proklamasi mengsiyaratkan
tanggung jawab kepada para penerima (bangsa Indonesia) untuk mengisi penyataan kemerdekaan
tersebut.
Merujuk
kebelakang sebelum momentum berharga di bulan Agustus itu, penegaskan akan
cita-cita kemerdekaan Indonesia di sampaikan Bung Karno dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan
Peyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) 1 juni 1945—yang
menandai lahirnya Pancasila, menyatakan bahwa kemerdekaan adalah, politieke onafhankelijkheid, political
independence yang tak lain dan tak bukan ialah satu jembatan emas.
Dengan
menggunakan pendekatan Philosophische
Untersuchungen yang dirumuskan Ludwig
Wittgenstein (1889-1951), “jembatan emas” dalam pidato Bung Karo tersebut
dapat bermakna bahwa kemerdekaan bukan akhir perjuangan, tetapi sekadar sarana,
penghubung antara apa yang diupayakan dimasa lalu dengan apa yang hendak
dicapai pada masa depan.
Lalu
apa yang hendak dicapai dimasa depan, didalam Indonesia merdeka ? Bung Karno
menjelaskan, ”Di dalam Indonesia merdeka, kita melatih pemuda kita agar menjadi
kuat. Di dalam Indonesia merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik- baiknya.
Inilah maksud saya dengan perkataan ’jembatan’. Di seberang ’jembatan emas’
inilah kita baru leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah,
kuat, sehat, kekal, dan abadi.”
Namun setelah enam puluh tujuh tahun merdeka, sebagai bangsa
kita tampak semakin sesusah bangga. Alih-alih bergerak mencapai cita-cita
kemerdekaan: masyarakat adil dan makmur. Indonesia justeru secara meyakinkan berjalan
menuju kejurang kegagalan.
Pertengahan Juni lalu dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012 yang
disusun lembaga riset nirlaba The Fund
for Peace (FFP) bekerja sama dengan majalah Foreign Policy. Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara
atau masuk dalam kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal.
Sepanjang satu tahun terakhir kondisi Indonesia dipandang
semakin memburuk dibandingkan periode sebelumnya. Tiga dari dua belas indikator
yang digunakan untuk menyusun FSI cenderung terus memperlihatkan keadaanya yang
memburuk di Indonesia. Ketiga indikator itu adalah tekanan demografis, protes
kelompok-kelompok minoritas di masyarakat, dan hak asasi manusia.
Menurut FFP beberapa persoalan utama yang dihadapi Indonesia
saat ini antara lain, pembangunan infrastruktur, pengangguran, korupsi,
kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, dan pendidikan, juga masalah
kesehatan dan lingkungan, seperti degradasi lahan dan masalah air bersih.
Jika ditilik dengan seksama dari berbagai aspek sesungguhnya
Indonesia memenuhi unsur-unsur dari negara gagal. Kegagalan pelayanan publik,
korupsi politik, dan pelayanan sosial tidak jalan, yang merupakan ciri-ciri
negara gagal, sama seperti dengan ciri-ciri Indonesia hari ini.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan keenam
negara terburuk setelah Myanmar (urutan ke-21), Timor Leste (ke-28), Kamboja
(ke-37), Laos (ke-48), dan Filipina (ke-56). Anggota lain ASEAN berada pada
posisi jauh lebih baik daripada Indonesia, yakni Thailand (ke-84), Vietnam
(ke-96), Malaysia (ke-110), Brunei (ke-123), dan Singapura (ke-157).
Sedangkan peringkat pertama negara gagal diduduki oleh Somalia,
yang menghadapi berbagai masalah terkait dengan kondisi tanpa hukum yang terus
meluas, pemerintahan yang tak efektif, terorisme, pemberontakan, kriminalitas,
dan serangan perompak terhadap kapal-kapal asing. Dan negara terbaik ditempati
oleh Finlandia yang memiliki berbagai indikator ekonomi dan sosial yang kuat,
pelayanan publik yang prima, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan
supremasi hukum.
Ketika
Republik, hari ini mencapai umur 67 tahun, pertanyaannya kemudian; sudahkah
diseberang jembatan emas itu Indonesia “merdeka
dari” dan “merdeka untuk” dapat
terwujudkan ? (dimuat di Batam Pos, tanggal 23 Agustus 2012, halaman 2). ***
Kamis, 23 Agustus 2012
Kamis, 16 Agustus 2012
Rabu, 15 Agustus 2012
Senin, 13 Agustus 2012
Sabtu, 11 Agustus 2012
Kamis, 02 Agustus 2012
Rabu, 01 Agustus 2012
Selasa, 31 Juli 2012
Senin, 30 Juli 2012
Sabtu, 28 Juli 2012
Kamis, 26 Juli 2012
Sabtu, 30 Juni 2012
Selasa, 26 Juni 2012
Selasa, 08 Mei 2012
OPINI
Sudah kah kita merdeka??
KEMERDEKAAN, kata Bung Karno, politike
onafhankelijkheid, political independence, tak lain dan
tak bukan, ialah suatu jembatan, satu jembatan emas. Jembatan, ia penghubung
antara apa yang diupayakan dimasa lalu dengan apa yang hendak dicapai di masa
depan. Pernyataan kemerdekaan oleh Bung Karno dan Bung Hatta pada 17 Agustus
1945 pukul 10 pagi, di Jalan Pengangsaan Timur,
sesungguhnya barulah pada tahap pelepasan diri dari cengkraman
kolonialisme, yang merupakan syarat awal menuju kemerdekaan sesungguhnya,
kemerdekaan sejati. Kemerdekaan sejati, merupakan citacita segenap anak bangsa
yang dirumuskan para founding father dalam pembukaan UUD 1945. Di tahun
1964 dalam pidato ulang tahun kemerdekaan Indonesia, yang dia beri judul “Tahun
Vivere Pericoloso”. Bung Karno meringkasnya dalam tiga rumusan penting,
Trisakti:
Berdaulat secara politik, Berdikari secara
ekonomi, dan Berkepribadian secara kebudayaan Namun bagi sebagian kecil para
penganut paham liberalisme, kemerdekaan Indonesia berhenti ketika
ditanda-tanganinya kesepakatan Konferensi Meja Bundar (KMB)—23 Agustus hingga 2
November 1949—dan “pengakuan” kedaulatan Indonesia oleh Belanda pada 27
Desember 1949, kemudian diikuti penarikan tentara Belanda dari Indonesia.
Padahal dilihat dari berbagai sudut,
perjanjian KMB melanggengkan kekuasaan Belanda di Indonesia, pembayaran utang
perang Belanda sebesar 4,5 miliar gulden, tidak segera diserahkannya
Papua/Irian kepada Indonesia (akhirnya terpaksa direbut dengan kekuatan bersenjata),
dan diubahnya bentuk negara dari kesatuan menjadi serikat (Republik Indonesia
Serikat/RIS), sistem kabinet yang semula Presidentiel dirubah menjadi sistem
Kabinet Parlementer.
Pada sisi lain Perjanjian KMB justru hendak
membuka pintu Indonesia bagi dilangsungkannya penanaman modal asing. Sebelumnya Belanda memaksa dicoretnya pasal 33 UUD 1945. Belanda
berpendapat ketentuan pasal
33 itu tidak memungkinkan penanaman modal asing di
Indonesia. Beruntung RIS tidak berumur panjang. 17
Augustus 1950 Bung Karno memproklamirkan kembalinya Indonesia kepada NKRI dan
pasal 33 dihidupkan kembali dalam pasal 38 UUDS 1950.
Kemudian terbit Dekrit 5 Juli 1959 kembali
ke UUD 1945. Jelas bahwa agenda
utama KMB adalah agenda liberalisasi sistem politik ketatanegaraan dan
perekonomian Indonesia. Liberalisme dari beberapa sudut justru lebih tampak
watak penjajah, ketimbang upaya membebaskan satu bangsa dari penghisapan oleh
bangsa lain “I’exploitation de nation par nation”. Penjajahan, sebagaimana dikatakan Bung Hatta, ketika tampil berpidato
sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia— organisasi pergerakan kemerdekaan di
negeri Belanda—di tahun 1926, merupakan cermin dari sifat serakah Barat untuk
menguasai negeri lain dan memanfaatkan hasil negeri yang dijajah tersebut,
disamping melemparkan kembali hasil-hasil negeri penjajah ke tanah jajahan.
Ini memang pas buat Indonesia yang luas dan
kaya dan banyak penduduknya. Indonesia sebagai negeri penghasil juga pasar. Setelah
kegagalan RIS, agenda mendorong liberalisasi di Indonesia tak juga surut. Pasca
kejatuhan Bung Karno, pemerintahan Soeharto mengundang beramai-ramai modal
asing masuk ke Indonesia, dan meresmikannya dengan UU No 1 Tahun 1967 tentang
Penanaman Modal Asing.
Sejak itu modal asing berbondongbondong mengeruk isi perut bumi Indonesia .
Dari Sabang sampai Merauke, asing adalah pihak yang sesungguhnya berkuasa. Beberapa diantaranya Freeport di
Papua, Newmont di NTB, Caltex di Riau atau Exxon Mobile
dan banyak perusahaan minyak dan gas dunia yang nongkrong di Aceh dan Natuna. Setelah
minyak dan gas disedot dari
perut bumi Indonesia , lalu
dikirim ke negeri asalnya, kemudian diolah menjadi beragam jenis minyak; avtur,
bensin, solar, minyak tanah dan lainlainnya.
Selanjutkan dijual kembali ke rakyat Indonesia , tentu dengan harga yang
jauh lebih mahal. Dan seperti kata Bung Hatta “....Ini memang pas buat
Indonesia yang luas dan kaya dan banyak penduduknya. Indonesia sebagai negeri
penghasil juga pasar ” Tak cukup sampai disitu, agenda perluasan liberalisme
disusun kembali usai kejatuhan Soeharto.
Permadi, SH, mantan politisi senior PDIP,
seorang Soekarnois, dan tentu nasionalis sejati dalam sebuah diskusi di
bilangan Tebet belum lama ini menengarai, keterlibatan pihak asing dalam
perubahan yang telah jauh melenceng dari semangat dan amanat sila kelima
Pancasila; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. UU No 25 tahun 2007
tentang Penanaman Modal (UUPM) yang menganut kesetaraan (equal treatment).
Perlakuan setara dan sama antara penanam
modal asing dengan penanam modal dalam negeri. Padahal dalam berbagai hal
penanam modal dalam negeri kalah bersaing, baik dari aspek permodalan,
teknologi, ilmu pengetahuan, sumber daya manusia, dan sebagainya.
Kemudian kita meyaksikan bumi dan air serta
kekayaan alam yang terkandung didalamnya, serta cabang-cabang produksi yang
penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Multi
Nasional Corporation untuk sebesar-besar kemakmuran mereka. Ironisnya justru
kemakmuran tidak dikecap penduduk di sekitar daerah penghasil sember daya alam
bahkan daerah dimaksud masih masuk dalam wilayah garis kemiskinan. Entah
bagaimana Bung Karno dan Bung Hatta (seandainya masih hidup sekarang) melihat
bangsa ini kini seolah-olah tergadai. Mungkin mereka akan protes, mungkin juga
menulis, seperti ketika Hatta berkirim surat kepada Perdana Menteri Ali Sostro
Amijoyo di tahun 1955, ketika Ali mensahkan Undang-Undang Penanaman Modal yang
dinilainya terlalu condong ke arah liberalisme, lebih baik kita mengusahakan
sendiri, eksploitasi sumberdaya alam sendiri, bukan mengkerjasamakannya dengan
asing.
Namun dewasa ini, ketika
Republik telah mencapai umur 66 tahun, sudahkah kita merdeka? Kata orang, kita
sedang mengisikemerdekaan, berdaulat di bidang ekonomi, bebas dari kemiskinan
menuju masyarakat yang adil dan makmur. Semoga! (dimuat di batam pos, tanggal 15 Agustus 2011).***
OPINI
Memberdayakan wilayah perbatasan
Oleh: Djasarmen Purba, SH
SELAMA ini,
daerah perbatasan sering kali dijuluki sebagai ”beranda terdepan bangsa”. Namun, dalam kenyataannya sering kali tidak terurus. Bahkan daerah
perbatasan terus-terusan menjadi sumber konflik antar negara tetangga. Kasus
paling gress adalah ditangkapnya tiga petugas DKP oleh Polisi Diraja Malaysia.
Indonesia sebagai
negara maritim sebagaimana dikukuhkan dengan Hukum Laut Internasional 1982 (United Nations Convention on the Law of the
Sea/ UNCLOS 1982), memiliki wilayah perairan
terluas, lebih luas dari wilayah daratan (3x luas daratan : luas daratan 2.027
km2, luas perairan 6.184.280 km2). Meskipunn
UNCLOS sudah diberlakukan selama 28 tahun, tetapi belum begitu banyak
tugas-tugas yang diamanatkan UNCLOS 1982 yang telah diselesaikan Indonesia .
Kondisi ini membuat
ketegangan antara Indonesia dengan negara-negara tetangga terus terjadi dari
tahun ke tahun. Ketebatasan anggaran dan luasnya wilayah perbatasan yang harus
diselesaikan dengan negara tetangga acapkali menjadi masalah utama bagi
pemerintah untuk merampungkan tugas-tugasnya. Indonesia memiliki perbatasan
laut dengan 10 negara yaitu, Malaysia, Singapura, Thailand, India, Timor Leste,
PNG, Australia, Vietnam, Filipina, dan Palos.
Sebagian besar
negara-negara tersebut berada di sebelah utara Indonesia yang relatif
penduduknya lebih padat daripada penduduk pulau-pulau Indonesia yang berbatasan
dengan negaranegara tersebut. Permasalahan kawasan perbatasan darat dirasakan
lebih berat dan lebih rumit, karena penegasan garis batas (border lines) sampai hari ini belum mencapai kesepakatan, misalnya di
wilayah Kepulauan Riau (Kepri).
Padahal keberadaan
garis batas yang sudah sah secara hukum, sangat penting karena border lines ini merupakan persyaratan berdirinya sebuah
negara yang menyebutkan adanya suatu wilayah yang pasti; yang tentunya jelas
batasbatasnya, dan sekaligus menjadi prasarana utama penegakan wilayah
kedaulatan negara.
Namun bila batas
yang legal sebagaimana terdapat di wilayah perairan Kepri yang berbatasan
langsung dengan Malaysia belum dimiliki, paling tidak kedua negara yang
berbatasan harus memiliki batas sementara (provisional arrangement) sebagai border lines. Agar tidak membuka ruang bagi terjadinya border crimes seperti illegal logging/mining/fishing, human trafficking, penyelundupan senjata/narkoba/miras/ sembako, illegal immigration, perompakan (piracy) dan lain-lain di
zona perbatasan.
Seringkali maraknya
kejahatan di wilayah perbatasan tersebut tidak terlepas dari ketidakperdulian
masyarakat yang bermukim di wilayah tersebut. Ini dipicu oleh tingkat
kesejahteraan masyarakat yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan penduduk
perbatasan Malaysia, Vietnam, dan Filipina, yang mengalami tingkat kemajuan
yang lebih pesat.
Selama puluhan
tahun wilayah perbatasan diperlakukan sebagai daerah belakang (periphery areas) dan tidak mendapat perhatian serius dari pemerintah
pusat. Akibatnya masyarakat di
wilayah tersebut hampir tidak mengalami kemajuan dibandingkan saudara-saudaranya
di wilayah lain, maupun masyarakat di negara tetangga.
Kemiskinan yang
melanda masyarakat kita di wilayah perbatasan, serta kedekatan/keterikatan
kekerabatan dengan penduduk negara tetangga, sering dimanfaatkan oleh
masyarakat di negara tetangga untuk menjadikannya kaki tangan pencurian
kekayaan alam negara sendiri. Dalam kaitan tersebut perlu digalakkan kembali
program transmigrasi guna mengintegrasikan dengan masyarakat pendatang dari
wilayah lain Indonesia, sehingga mampu merekatkan rasa kebangsaan dan tanggung
jawab mereka sebagai anak bangsa. Peningkatan Peralatan Disamping itu, untuk mencegah maraknya
pencurian kekayaan alam dan peningkatan pengawasan perbatasan, pemerintah perlu
mempertimbangkan peningkatan kualitas peralatan dan anggaran bagi aparat yang
bertugas di wilayah perbatasan.
Sudah menjadi
rahasia umum, lemahnya aparat dalam melakukan pengawasan dan penindakan
terhadap pelanggaran perbatasan dan pencurian kekayaan alam negara akibat
canggihnya peralatan yang dimiliki para pencuri dibandingkan dengan peralatan
yang dimiliki aparat kita. Namun
demikian peningkatan peralatan dan anggaran tidaklah cukup, untuk melakukan
penanggulangan pelanggaran dan kejahatan di wilayah perbatasan, yang tidak
kalah penting lagi, koordinasi antar instansi harus ditingkatkan.
Seperti diketahui
wilayah perbatasan terdapat banyak instansi yang melakukan pengawasan, mulai,
Bea dan Cukai, Polairud, KPLP, DKP, Pemda, dan Angkatan Laut. Dalam prakteknya
di lapangan masingmasing instansi melakukan kerja sendiri tanpa terkoordinasi
satu sama lain, akibatnya banyak instansi dan aparat yang berada di perbatasan
tidak cukup efektif untuk menjaga perbatasan dari berbagai pelanggaran.
Kini sudah saatnya
dibentuk tim gabungan dari instansi tersebut dalam menjaga wilayah perbatasan
NKRI atau sudah selayaknya momen ini dimanfaatkan untuk meningkatkan kinerja
Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP) yang di Ketuai Menteri Dalam Negeri
(Mendagri). Perundingan perbatasan di Kinabalu tanggal 6 September 2010 yang
akan datang harus melibatkan berbagai pihak, termasuk Pemda yang di daerah
perbatasan. Kasus penangkapan tiga petugas DKP oleh polisi Diraja Malaysia
beberapa waktu lalu bukan saja menuntut segera diselesaikannya sengketa
perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.
Namun juga menghendaki adanya perubahan paradigma
kebijakan pembangunan wilayah perbatasan, dengan menempatkannya sebagai halaman
depan, bukan sebagai daerah pinggiran yang layak untuk dilupakan. (dimuat di batam pos, tanggal 4 september 2010).***
OPINI
Revisi UU Migas dan
DBH Kepri
Oleh: Djasarmen Purba, SH
SALAH satu agenda
penting Pansus Pertambangan yang dibentuk DPD RI adalah usulan revisi atas
Undang- Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (Migas), yang
selama ini dinilai menujukkan keberpihakan yang besar kepada korporasi, namun
mengabaikan kepentingan masyarkat, khususnya masyarakat di daerah
pertambangan.Revisi atas UU Migas akan dapat menyentuh keseluruhan rantai nilai
kepengusahaan migas sejak sebelum penandatanganan kontrak, berjalannya kegiatan
eksplorasi, dan eksploitasi, maupun saat blok migas telah berproduksi hingga
menghasilkan pendapatan bagi negara dan daerah serta penggunaannya bagi
pembangunan.
Dengan kata lain revisi UU Migas akan menyangkut persoalan
transparansi dan akuntabilitas dari pelaksanaan kegiatan usaha migas Terkait
transparansi pendapatan di sektor hulu, pada draf revisi UU Migas memasukan
klausul tentang adanya informasi minimal yang seharusnya dimiliki oleh Pemda
dan masyarakat sekitar tambang.
Seperti diketahui, selama ini, Pemda tidak mendapatkan data
terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok yang berada di wilayahnya. UU No.22 Tahun 2001 dan PP No.35 Tahun
2004 Tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas, menyatakan bahwa data mengenai volume
dan jumlah produksi migas di daerah merupakan kewenangan pusat, dalam hal ini
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Ketiadaan data terkait dengan angka produksi migas pada blok-blok
yang berada di wilayahnya, membuat pemda seringkali tidak mengetahui dengan
pasti berapa besar dana bagi hasil minyak dan gas bumi (DBH Migas) yang
harusnya diterima daerah. Begitu juga yang dialami oleh Provinsi Kepulauan Riau
(Kepri) sebagai daerah penghasil migas, selama ini.
Saat ini ada empat KKKS (Kontraktor Kontrak Kerja Sama) BP MIGAS
yang berproduksi di wilayah Kepri (Anambas dan Natuna). Yakni ConocoPhillips
Indonesia, Star Energy (Kakap) Ltd, Premier Oil Natuna Sea BV, dan TAC Pertamina-PT
Pertalahan Arnebatara Natuna (PAN). Sedangkan yang bereksplorasi di Kepri ada
sembilan.
Antara lain Genting Oil Natuna Pte Ltd, Sanyen Oil and Gas Pte
Ltd, West Natuna Exploration Ltd, Indoreach Exploration Ltd, Lundin Baronang,
Lundin Cakalang, Lundin South Sokang, Pearl Oil, dan Titan Resources Natuna
Indonesia Ltd. Sebagai daerah penghasil, DBH Migas masih menjadi tulang
punggung bagi keuangan daerah Provinsi Kepri.
Saat ini Kepri mendapatkan bagian 30 persen
dari keuntungan secara keseluruhan. Dari
angka ini, daerah penghasil mendapat jatah 11-12 persen, untuk pemerataan 16
persen dan provinsi kebagian 6 persen. Secara umum anggaran daerah Provinsi
Kepri masih mengandalkan DBH migas dalam anggaran belanja daerah. Tahun ini
saja sumbangan DBH Migas sekitar 35 persen dari nilai APBD Provinsi Kepri
sebesar Rp1,9 triliun. Sebagai provinsi penghasil minyak dan gas, Kepri
mendapat jatah 15 persen dari keuntungan industri minyak secara nasional.
atah ini kemudian dibagi untuk kabupaten
penghasil, yakni Anambas dan Natuna, sebanyak 6 persen. Kemudian sebanyak 6
persen lainnya untuk pemerataan bagi kabupaten/ kota di Kepri. Sedangkan
Provinsi Kepri sendiri hanya mendapatkan 6 persen. Ketergantungan pada DBH
Migas tampak juga pada kondisi keuangan Kabupaten Anambas. Dari nilai Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) 2011 sebesar Rp685,9 miliar
(Rp685.909.122.995), sekitar 56 persennya disumbang oleh dana bagi hasil minyak
dan gas (DBH Migas), yakni sekitar Rp385 miliar. Kondisi serupa juga terjadi pada
APBD tahuntahun sebelumnya. Di 2010, DBH migas menyumbang Rp265,2 miliar
(sekitar 47 persen) untuk Rp573,2 miliar APBD Anambas.
Dana Bagi Hasil Minyak Bumi dan Gas (DBH
Migas) yang diberikan pemerintah pusat untuk Provinsi Kepri tidak adil. Kepri hanya menerima pembagian DBH Migas sebesar 30
persen dan untuk pemerintah pusat 70 persen. Sedangkan Aceh, Riau dan
Kalimantan Timur dan Papua rosio pembagiannya justru sebaliknya, daerah
penghasil 70 persen sedangkan pusat 30 persen. Sebab itu maka rancangan Undang
Undang Migas seharusnya membuka ruang bagi daerah ikut menjadi pemegang saham
sehingga dana bagi hasil dan dividen bisa masuk ke kas daerah untuk memajukan
daerah bersangkutan.
Hal ini bisa dilakukan jika daerah diberi
hak membeli atau berpartisipasi dalam kepemilikan saham melalui pembentukan
badan usaha milik daerah (BUMD) maupun menggandeng pihak swasta.Bentuk lain
dari kejelasan yang perlu diberikan pada revisi UU Migas adalah pembagian hasil
migas dari awal atau diambilkan dari persentase penerimaan First Tranche Petroleum (FTP) negara. Saat ini daerah menerima dana bagi hasil
dari pendapatan bersih melalui kas negara.
UU hasil revisi harus mencantumkan bahwa contractor production sharin contract itu wajib menawarkan 10 persen participating interest kepada daerah baik sejak
disetujuinya plan of development, saat
perpanjangan, dan atau setelah ada perubahan. Revisi UU Migas yang kini sedang
berjalan di Senayan merupkan merupakan momentum yang tepat dan baik agar daerah
penghasil migas mendapatkan bagi hasil yang adil. Dalam kaiatan itu perlu
kiranya Pemda, DPRD dan seluruh komponen masyarakat Kepri untuk melakukan
tekanan ke DPR RI agar revisi atas UU Migas menunjukkan keberpihaknya yang
tegas kepada daerah penghasilan, seperti Kepri. (Dimuat di Batam pos, tanggal 26 Juli 2011)***
OPINI
Menggagas
”Kontak Politik”
untuk pilwako batam
Oleh: Djasarmen Purba, SH
Isu-isu mengenai pergantian kepemimpinan
daerah melalui sebuah proses pemilihan langsung wali kota Batam yang
direncanakan pada 5 Januari 2011, dalam beberapa waktu belakangan ini mendapat
tempat yang khusus dalam berbagai interaksi sosial politik masyarakat Kota
Batam.
Berbagai diskursus dalam ruang-ruang publik dipenuhi
berbagai wacana, mulai dari soal figur kandidat, kendaraan politik, anggaran
penyelenggaraan pilkada oleh KPUD, black
campaign, money
politics, dan berbagai wacana lainnya.
Namun sayangnya hingar-bingarnya perdebatan yang
berlangsung di tengah masyarakat tersebut tampaknya masih belum mampu membangun
hubungan programatik para calon kepala daerah itu dengan realitas sosialnya.
Perdebatan yang
berlangsung masih terbatas pada hal-hal normatif dan kepentingan politik sesaat
saja. Kalaupun perdebatan menyentuh program-program yang ditawarkan oleh para
calon wali kota, hal tersebut baru terbatas pada jargon jargon yang membius
tanpa makna.
Bahkan celakanya
jargon-jargon tersebut justeru menjadi alat bagi si calon untuk menyajikan
tontonan kepura-puraan belaka. Panggung-panggung politik yang disesaki
kampanye, brosur, pamflet, dan banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas
pengingkaran sang pemimpin. Tontonan kepura-puraan tersebut pada akhirnya
melahirkan sikap trauma dan antipati rakyat terhadap para pemimpinnya.
Pilwako Batam yang
berlangsung di tengah merosotnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya,
menuntut setiap
calon wali kota Batam untuk melakukan
berbagai terobosan politik untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Janji-janji
politik yang diucapkan secara retoris di atas panggung kampanye telah
kehilangan keampuhannya. Para calon harus memberikan alternatif yang lebih menjanjikan
kepada rakyat.
Di antara berbagai
alternatif tersebut adalah ”kontrak politik” yang bersifat mengikat antara si
calon dan rakyatnya. Sebagaimana halnya pernah dilontarkan oleh seorang
pengusaha sukses di Batam. Merujuk pada pendapat Thomas Hobbes, kontrak sosial
atau kontrak politik itu terjadi karena empat hal yaitu, Pertama, ada fakta
bahwa mereka samasama memiliki kebutuhan dasar. Kedua, jikalau tidak cukup
barang-barang pokok untuk dibagi-bagikan, siapakah yang boleh memperolehnya?
Ketiga, adanya fakta berkekurangan.
Keempat, jikalau
kita tidak dapat berhasil dengan mengandalkan kekuatan sendiri, harapan apakah
yang dapat kita miliki? Dari pengertian ini, jelas apa yang dimaksud dengan
kontrak politik bertujuan untuk kebaikan bersama di antara pihak-pihak yang
menandatangani kontrak tersebut. Bagi si calon wali kota, sejatinya kontrak
politik adalah manifesto peneguhan sikap moral kepemimpinan dan kenegarawanan
untuk sungguh-sungguh dan penuh kejujuran atas detail klausa pengikatan diri dengan
rakyat. Kalau saja pemimpin berangkat dari semangat ini, maka kontrak politik
menjadi alternatif ideal atas upaya pencarian figur sang kandidat.
Sementara bagi
masyarakat kesepakatan kesepakatan tersebut merupakan salah satu instrumen bagi
masyarakat untuk menguji kesungguhan sang kandidat. Disamping tersebut kontrak
politik memberikan jaminan bahwa programprogram yang dijalankan oleh si calon
jika kelak terpilih akan benar-benar memiliki keberpihakan pada masyarakat.
Dalam perspektif Kota Batam, pemilihan wali kota pada 5 Januari 2011 nanti
merupakan momentum strategis karena bukan hanya prosedurnya (demokrasi
prosedural) dipilih langsung oleh rakyat sesuai hak politiknya, tetapi juga
dapat menjadi media kontrak politik para calon kepala daerah untuk menjamin hak
sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat koat Batam.
Secara sederhana
ada beberapa point penting yang harus dipenuihi oleh tiap walikota terpilih
yaitu; menjadikan Batam sebagai kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade
Zone/FTZ), merubah status lahan Rempang-Galang, menurunkan angka penganguran
dan kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Tiap klausul (isi
kontrak) haruslah dibuat secara jelas dan terukur. Sehingga dengan demikian
akan jelas indikator bila sukses (tercapai) atau tidaknya. Kontrak politik soal
perubahan status lahan Rempang-Galang misalnya, harus jelas berapa lama Target
waktu yang ditetapkan untuk perubahan lahan tersebut. Hal lain yang perlu dari
sebuah kontrak politik disamping cara-cara pemenuhan kontrak, juga menyangkut
kesepakatan cara dan proses melakukan tuntutan jika sebuah kontrak gagal
dipenuhi oleh si calon wali kota yang menjanjikan sesuatu.
Misalnya jika si
wali kota terpilih tidak berhasil mewujudkan isi kontrak politik maka yang
bersangkutan bersedia turun ditengah masa jabatannya. Beberapa hal di atas
merupakan asas-asas berkontrak, yang akan memposisikan apakah sebuah kontrak
benar-benar memiliki kekuatan hukum, atau sekadar bermuatan norma sosial yang
sulit untuk “diklaim”.
Jika isi klausul kontrak politik ternyata banyak
mengandung hal-hal yang (secara hukum) kabur, tentunya hal ini adalah bentuk
dari upaya manipulasi. Karena itu, sebagai seorang demokrat sejati, setiap
calon wali kota Batam yang akan bertarung pada 5 Janurai 2011 nanti harus siap
dan bersedia melakukan kontrak politik, untuk membawa perubahan yang berarti
dan lebih baik atas nasib masyarakatnya. (dimuat di batam pos, tanggal 11 Oktober
2011) ***
Langganan:
Postingan (Atom)