Jumat, 24 Agustus 2012

OPINI


Merdeka Dari, Merdeka Untuk


 Oleh: Djasarmen Purba, SH

Mengikuti jalan fikiran Erich Formm, semangat pendeklarasian kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945, pukul  10 pagi di jalan Pengangsaan Timur itu yang disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta atas nama bangsa Indonesia, sesungguhnya bukanlah sekedar merdeka dari (free from), namun juga, merdeka untuk (free to).

Karena itu, proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan sekedar penegaskan pemindahan kekuasaan dari bangsa Jepang kepada Bangsa Indonesia. Lebih jauh, proklamasi mengsiyaratkan tanggung jawab kepada para penerima (bangsa Indonesia) untuk mengisi penyataan kemerdekaan tersebut.

Merujuk kebelakang sebelum momentum berharga di bulan Agustus itu, penegaskan akan cita-cita kemerdekaan Indonesia di sampaikan Bung Karno dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Peyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) 1 juni 1945—yang menandai lahirnya Pancasila, menyatakan bahwa kemerdekaan adalah, politieke onafhankelijkheid, political independence yang tak lain dan tak bukan  ialah satu jembatan emas.

Dengan menggunakan pendekatan Philosophische Untersuchungen yang dirumuskan Ludwig Wittgenstein (1889-1951), “jembatan emas” dalam pidato Bung Karo tersebut dapat bermakna bahwa kemerdekaan bukan akhir perjuangan, tetapi sekadar sarana, penghubung antara apa yang diupayakan dimasa lalu dengan apa yang hendak dicapai pada masa depan.

Lalu apa yang hendak dicapai dimasa depan, didalam Indonesia merdeka ? Bung Karno menjelaskan, ”Di dalam Indonesia merdeka, kita melatih pemuda kita agar menjadi kuat. Di dalam Indonesia merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik- baiknya. Inilah maksud saya dengan perkataan ’jembatan’. Di seberang ’jembatan emas’ inilah kita baru leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah, kuat, sehat, kekal, dan abadi.”

Namun setelah enam puluh tujuh tahun merdeka, sebagai bangsa kita tampak semakin sesusah bangga. Alih-alih bergerak mencapai cita-cita kemerdekaan: masyarakat adil dan makmur. Indonesia justeru secara meyakinkan berjalan menuju kejurang kegagalan.

Pertengahan Juni lalu dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012 yang disusun lembaga riset nirlaba The Fund for Peace (FFP) bekerja sama dengan majalah Foreign Policy. Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara atau masuk dalam kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal.

Sepanjang satu tahun terakhir kondisi Indonesia dipandang semakin memburuk dibandingkan periode sebelumnya. Tiga dari dua belas indikator yang digunakan untuk menyusun FSI cenderung terus memperlihatkan keadaanya yang memburuk di Indonesia. Ketiga indikator itu adalah tekanan demografis, protes kelompok-kelompok minoritas di masyarakat, dan hak asasi manusia.

Menurut FFP beberapa persoalan utama yang dihadapi Indonesia saat ini antara lain, pembangunan infrastruktur, pengangguran, korupsi, kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, dan pendidikan, juga masalah kesehatan dan lingkungan, seperti degradasi lahan dan masalah air bersih.

Jika ditilik dengan seksama dari berbagai aspek sesungguhnya Indonesia memenuhi unsur-unsur dari negara gagal. Kegagalan pelayanan publik, korupsi politik, dan pelayanan sosial tidak jalan, yang merupakan ciri-ciri negara gagal, sama seperti dengan ciri-ciri Indonesia hari ini.

Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan keenam negara terburuk setelah Myanmar (urutan ke-21), Timor Leste (ke-28), Kamboja (ke-37), Laos (ke-48), dan Filipina (ke-56). Anggota lain ASEAN berada pada posisi jauh lebih baik daripada Indonesia, yakni Thailand (ke-84), Vietnam (ke-96), Malaysia (ke-110), Brunei (ke-123), dan Singapura (ke-157).

Sedangkan peringkat pertama negara gagal diduduki oleh Somalia, yang menghadapi berbagai masalah terkait dengan kondisi tanpa hukum yang terus meluas, pemerintahan yang tak efektif, terorisme, pemberontakan, kriminalitas, dan serangan perompak terhadap kapal-kapal asing. Dan negara terbaik ditempati oleh Finlandia yang memiliki berbagai indikator ekonomi dan sosial yang kuat, pelayanan publik yang prima, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan supremasi hukum.

Ketika Republik, hari ini mencapai umur 67 tahun, pertanyaannya kemudian; sudahkah diseberang jembatan emas itu Indonesia “merdeka dari” dan “merdeka untuk” dapat terwujudkan ? (dimuat di Batam Pos, tanggal 23 Agustus 2012, halaman 2). ***





Tidak ada komentar:

Posting Komentar