Selasa, 31 Januari 2012

OPINI


Politik Pencitraan Sampah


OLEH: DJASARMEN PURBA, SH

Untuk kesekian kalinya Kota Batam mendapat predikat kota terkotor se-Indonesia. Kali pertama predikat itu disandang tahun 2005, namun dua tahun berselang berturut-turut (2007, 2008 dan 2009 ) secara mengejutkan Batam tiba-tiba mendapat Piala Adipura, supermasi tertinggi kota terbersih di Indonesia. Tahun 2007 Batam meraih Piala Adipura, sebagai supermasi kota besar terbersih ketiga di Indonesia, setelah Padang dan Pekanbaru. Tahun selanjutnya (2008) Batam kembali meraih Adipura. Prestasinya lebih kinclong lagi, naik ke predikat  kota besar terbersih kedua di Indonesia setelah Pekanbaru di urutan pertama dan Kota Padang di urutan ketiga. Berikutnya, tahun 2009 Kota Batam berhasil menyabet Piala Adipura lagi sebagai kota besar terbersih ketiga. 

Namun, setahun kemudian semua prestasi tiga tahun itu tiba-tiba sirna begitu saja, tak berbekas, terbalik 180 derajat. Dua tahun kemudian berturut-turut (2010 dan 2011) Batam kembali ke wajah aslinya menjadi kota terkotor di Indonesia. Banyak yang bertanya-tanya mengapa perubahan-perubahan itu berlangsung secara extrem, dari kota terkotor langsung menyabet Piala Adipura, dari predikat kota terbersih terjerembab kembali jadi kota terkotor. Apa sesungguhnya yang terjadi? Ada segudang pertanyaan di kepala  masyarakat. Menurut hemat penulis, inilah wajah asli  Batam sesungguhnya, tidak saja wajah tata ruangnya, lebih jauh wajah birokrasi (pemerintah kota) sesungguhnya. Pemko

Batam seolah-olah tidak memiliki visi dan blue print managemen pengelolaan sampah yang benar. Kebijakan-kebijakan yang dibuat selama ini hanya bersifat adhoc dan reaksioner. Sekadar ingin menutupi borok sesaat, untuk kemudian dibiarkan lagi menyebar ke tiap-tiap sudut kota. Apa yang kemudian disebut borok? Penulis menduga itu adalah citra (nama baik). Predikat kota terkotor telah mencoreng  nama baik Pemerintah Kota Batam,sebab itu sang Wali Kota segera memperbaikinya, dan dalam sekejab semuanya kembali seperti sediakala bahkan lebih baik lagi, mendapat sanjungan Adipura. Tapi, untuk siapa piala Adipura itu, untuk Batam, untuk seluruh masyarakat Batam? Penulis kira piala itu sejatinya ditujukan untuk masyarakat Batam, bukan untuk segelintir elit penguasa yang membutuhkan sanjungan, yang tak ingin citranya  ternodai

Ketika mendapat predikat kota terkotor se Indonesia tahun 2005, citra Batam, lebih- lebih citra Wali Kota Batam “terpuruk”, dan sebab itu Wali Kota segera membayar lunas di tahun 2007, 2008 dan 2009 dengan piala Adipura sehingga citranya “tersanjung”. Namun Batam yang bersih dan berseri-seri di tahun-tahun itu, belum menyentuh masyarakatnya menjadi lebih sehat, lebih nyaman. Begitulah politik pencitraan, politik sesaat. Ketika citra telah kembali pulih,target berhasil diraih. Semuanya akan kembali seperti semula. Sampah-sampah akan menumpuk lagi, lalat-lalat berterbangan, bau busuk menyebar ke seantero kota, bangun-bangun liar akan berjejal kembali menyesaki badan trotoar sepanjang jalan, lalu masyarakat menjadi sakit dan kota tak nyaman lagi ditempati. 

Pencitraan sah-sah saja, namun bila pencitraan ditempatkan sebagai segala-galanya bahkan mengalahkan rakyat (masyarakat), beginilah jadinya, apa yang buruk di masa lalu akan terus berulang di masa datang. Segala persoalan ditangani secara adhoc dan sesaat, tidak ada blue print yang jelas dan berjangka panjang. Akibatnya “kegaduhan” kembali terjadi. Di awal tahun 2010 pengelolaan sampah di Kota Batam benar-benar amburadul.

Kontrak kerjasama pengeloaan sampah antara Pemko Batam dengan PT. SS selaku perusahaan tunggal pemenang tender swastanisasi sampah terputus di tengah jalan. Pemko lalu menunjuk PT RGA sebagai pengganti. Namun masalahnya tak juga selesai, sampah masih saja menumpuk tak terangkut dimana-mana. Kondisi ini diperparah dengan perselisihan antara pemko Batam dan DPRD Batam menyangkut penambahan anggaran Rp4,3 miliar yang diajukan Pemko yang disetujui oleh DPRD, tanpa terlebih dahulu dibahas oleh Banggar (Badan Anggaran), sehingga persoalan ini semakin berlarut-larut. Suatu ketika di awal bulan Oktober 2011, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) wilayah Sagulung, menelpon saya, (penulis) minta bantuan 1 (satu) unit Beko untuk mengangkut sampah yang telah menggunung. 

Mereka berujar jika sampah tersebut tidak segera diangkut, maka akan menimbulkan penyakit dan bau busuk dimana-mana. Ketika beko di kirim, rupanya kelihatan berbagai lapisan masyarakat juga secara gotong royong / swadaya memberikan bantuan. Apakah hal seperti ini yang diinginkan Pemko Batam ? Menurut peraturan yang berlaku bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola kebersihan/sampah. Oleh karena itu seharusnya Pemerintah Daerah Kota Batam sudah punya grand design kebersihan sampai dengan 30 tahun yang akan datang. Penulis berpendapat akar permasalahan pengelolaan sampah di Batam selama ini bermula dari pendekatan politik yang digunakan oleh pemerintah. 

Pemko menangani sampah karena ingin memperbaiki citranya di mata “Jakarta” bukan untuk menyehatkan masyarakat Batam. Bila kemudian belakangan, persoalan sampah masuk ke ranah politik di DPRD, penulis kira ini konsekuensi logis dari pendekatan yang selama ini digunakan pemerintah  Batam sendiri. Karena itu stop ”mempolitikan” sampah, mulailah bekerja untuk kepentingan rakyat banyak, Selama upaya-upaya penanganan sampah tidak ditujukan kepada masyarakat, namun demi kepentingan politik sesaat, selama itu juga akan ada masalah besar yang terus menyelimutinya. Batam Pos Sabtu 5 November 2011(halaman 4).***

OPINI

Prestasi di Tengah
Gejolak Dunia



OLEH: DJASARMEN PURBA, SH


Di tengah gejolak perekonomian dunia Provinsi Kepulauan Riau (Kepri), masih mampu membuat prestasi bagus, hingga triwulan III 2011 pertumbuhan PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) daerah ini tercatat sebesar 7,10 persen, berada di atas pertumbuhan nasional yang hanya mampu mencapai 6,4 persen. Badan Pusat statistik Kepri melaporkan, atas dasar harga berlaku, sector ekonomi yang menunjukkan nilai tambah bruto yang terbesar pada triwulan III tahun 2011 adalah sector industri pengolahan sebesar Rp9.852.699,42 juta, kemudian sector perdagangan, hotel dan restoran Rp3.926.061,62 juta, disusul oleh sektor konstruksi sebesar Rp1.608.003,17 juta dan terakhir sector pertambangan dan penggalian sebesar Rp 1.536.223,22 juta. Sektor ekonomi lainnya masing-masing menghasilkan nilai tambah bruto dibawah 1 triliun rupiah.. 

Kontribusi sektor industri pengolahan yang dominan pada pertumbuhan PDRB Kepri mengindikasikan status kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone/FTZ) membawa implikasi positif pada perkembangan ekonomi wilayah ini, meskipun belum begitu maksimal. 

Menurut kalangan analis ekonomi, mestinya dengan status FTZ Kepri bisa tumbuh jauh lebih besar lagi, sekurang-kurangnya 9 atau 10 persen. Namun turunnya permintaan global akibat krisis yang berlangsung di zona Eropa dan Amerika serta masih terdapat berbagai hambatan perdagangan (lalu lintas barang) di kawasan FTZ, sehingga  sulit bagi Kepri untuk dapat tumbuh jauh lebih besar dari saat ini, terlebih mencapai pertumbuhan dua digit. Sebagai kawasan perdagangan bebas, mestinya di Kepri tidak lagi diberlakukan kebijakan master list untuk barangbarang yang masuk—karena prinsip pelabuhan bebas yakni semua barang boleh masuk, kecuali yang dilarang. Tapi dalam prakteknya, kebijakan tersebut masih diterapkan dan menjadi penghambat. Di samping itu sebagai kawasan FTZ seharusnya pemerintah menjamin kepastian hukum dan pemberian fasilitas tax holiday, kemudahan perizinan, lokasi dan harga listrik yang lebih murah untuk menarik minat investor menanamkan modalnya. Sejauh hal-hal semacam itu tidak terpenuhi sulit bagi Kepri untuk dapat bersaing dengan negara lain.

RTRW
Khusus soal lokasi (lahan) selama ini menjadi perhatian serius kalangan investor asing. Konflik-konflik pertanahan seperti di masa lalu jangan sampai terulang lagi. Sebab itu penataan ruang melalui RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) provinsi Kepri harus dibuat sebaik mungkin dan terintegrasi dengan kabupaten kota serta nasional. Melalui RTRW, kepastian hokum bagi investor dalam berinvestasi dapat terjamin. Lebih jauh lagi, keberadaan RTRW dapat mempromosikan kawasan tertentu pada investor yang disusun dalam Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) pada kawasan-kawasan yang terpilih.

Namun, sayangnya hingga kini RTRW Kepri belum juga disahkan karena terhambat belum tuntasnya proses verifikasi penetapan wilayah kehutanan di seluruh Kepri oleh Kementerian Kehutanan, terutama menyangkut penetapan tapal batas yang menjadi wilayah kehutanan, berikut jenis-jenis hutan lainnya. Penyelesaian penyusunan RTRW Kepri merupakan pekerjaan rumah yang harus dapat diselesaikan segera. Terkatung katung RTRW Kepri dapat menghambat pembangunan daerah ini. Belakangan sejumlah investor kabarnya memutuskan menunda rencananya menanamkan modalnya di Kepri, bahkan sejumlah kabupaten/kota tidak dapat menyelesaikan penyusunan RTRW karena terkendala oleh belum disahkan RTRW provinsi.

Nasib Pulau Dompak
Terganggunya proses pembangunan Kepri semakin diperparah dengan belum selesainya proyek pembangunan pusat pemerintahan provinsi Kepri di pulau Dompak. Proyek senilai 1,9 triliun rupiah yang dibangun sejak 2007 dan dijadwalkan rampung pada 19 Agustus 2010 lalu atau bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Ismeth Abdullah-HM Sani, sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Kepri periode 2005-2010. Namun hingga kini proyek tersebut masih terbengkalai. Terbengkalainya proyek pusat pemerintah pulau Dompak akan menurunkan citra pemerintah di mata masyarakat utamanya para pelaku usaha, sehingga dapat menurunkan tingkat kepercayaan terhadap pemerintah. Karena itu DPRD dan Pemerintah Daerah perlu mempertimbangkan untuk tetap melanjutkan proses pengerjaan proyek tersebut, terlebih dana yang sudah dikeluarkan pemerintah untuk membiayai pembangunan proyek pulau Dompak sudah terlalu banyak. 

DPRD dan Pemerintah Provinsi tidak perlu khawatir untuk terus melanjutkan proyek pulau Dompak. Menyangkut soal dugaan adanya tindak pidana pada proyek tersebut tetap perlu dilakukan.audit investigasi oleh pihak yangberwenang terutama pada anggaran tahun jamak (2007-2010), namunusulan tambahan anggaran baru bagi kelanjutan proyek harus disetujui DPRD terlebih pemerintah pusat telahmenyetujui penambahan anggaran bagi kelanjutan proyek pulau Dompak.Sesungguhnya kelanjutan proyektersebut kini berada ditangan DPRD, bersedia atau tidak menyetujui tambahan anggaran. Namun terlepas dari itu, pemprov Kepri dapat mulai memanfaatkan perkantoran yang sudah selesai dibangun, misalnya kantor gubernur. 

Kehadiran Gubernur dan seluruh jajarannya di pulau Dompak merupakan hal penting untuk meningkat kepercayaan publik terhadap pemerintah. Bukan rahasia lagi bahwa belakangan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintah provinsi turun dratis, paska ditetapkannya pulau Berhala yang menjadi sengketa antara Kepri dan Jambi, akhirnya diputuskan Mendagri diberikan kepada provinsi tetangga tersebut melalui Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor  44 Tahun 2011.

Pulau Berhala
Lepasnya pulau tersebut ke Provinsi Jambi menimbulkan luka yang cukup dalam bagi masyarakat Kepri, mengingat persoalan pulau Berhala bagi masyarakat Kepri, bukan semata soal tanah ditengah laut, namun menyangkut sejarah yang terkait erat  dengan marwah (harga diri  masyarakat Kepri. Jika dilihat jauh ke belakang, Pulau Berhala sudah masuk dalam wilayah Keresidenan Riau (provinsi induk Kepri-red) sejak tahun 1922. Sepanjang sejarah pemilu negeri ini, sejak pemilu pertama tahun 1955 hingga pemilu terakhir tahun 2009, warga Pulau Berhala juga dimasukkan ke Riau dan Kepri. Demikian juga dengan  perangkat desanya diangkat dan tergabung dalam Kecamatan Singkep Barat, Kabupaten Lingga. Undang- Undang (UU) Nomor 33 Tahun 2003 tentang Pembentukan KabupatenLingga. Karena itu langkah Pemprov melakukan uji materi Permendagri 44/ 2011 ke Mahkamah Agung (MA) sudah tepat dan perlu didukung oleh
semua elemen masyarakat Kepri.

Unggulan
Pekerjan Rumah (PR) bagi Pemda Provinsi Kepri yaitu untuk menetapkan hasil unggulan daerah. Menurut hemat penulis unggulan tersebut adalah : Sektor Pariwisata, Hasil Kelautan (Perikanan, Rumput laut), Free Trade Zone / FTZ, Minyak/Gas. Jika warga daerah provinsi lain datang berkunjung ke Kepri tentunya mereka akan dapat menikmati ke tiga unggulan tersebut, sehingga menjadi buah bibir. Atau bila perlu ada terobosan dari Pemda Provinsi Kepri, untuk menjadikan daerah ini menjadi daerah unggulan, apakah sudah waktunya dicetuskan: Kepri Menjadi Daerah Khusus? Dukungan seluruh elemen masyarakat merupakan modal utama bagi pemerintah dan DPRD Kepri menatap tahun depan (2012). Berbagai perisitiwa baik positif maupun negatif yang terjadi  sepanjang tahun 2011 hendaknya dapat  pemicu bagi seluruh pihak untuk membawa Kepri menjadi lebih baik dan berjaya di masa depan. Batam Pos Senin 17 Mei 2010 (halaman 4).***


OPINI

Partisipasi Masyarakat
dan Kualitas Demokrasi


OLEH: DJASARMEN PURBA,  SH


PEMILIHAN umum kepala daerah (Pilkada) merupakan sarana politik formal bagi masyarakat untuk memilih pemimpinnya yang akan menjalan roda pemerintahan dalam lima tahun kedepan, dalam rangka membawa angin perubahan yang lebih baik. Sebagai sebuah sarana politik yang diharapkan dapat membawa perubahan nasib masyarakat. Sewajarnya setiap pelaksanaan Pilkada, tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya mengalami peningkatan dari waktu ke waktu. Semakin banyak rakyat yang terlibat dalam proses pilkada, akan semakin baik legitimasi yang diperoleh si pemimpin dan pemerintahan yang akan dijalankanya, dalam rangka membawa perubahan yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan oleh masyarakat pemilih. Namun dalam beberapa waktu terakhir, kita justru melihat keadaan sebaliknya.

 Diberbagai pelaksanaan Pilkada di sejumlah daerah, partisipasi masyarakat terus mengalami kemerosotan, tidak terkecuali juga pada provinsi Kepulauan Riau (Kepri). Pada Pilkada Gubernur Kepri tahun 2005 lalu, tingkat partisipasi masyarakat dalam menggunakan hak pilihnya hanya mencapai 46,34 persen, atau lebih dari 53,66 persen pemilih di Kepri masuk dalam golongan putih (Absentia Voter). Meskipun persentase Absentia Voter sangat besar pada Pilkada Gubernur tahun 2005 lalu, namun hal itu tidak dapat membatalkan hasil Pilkada. Gubernur dan wakilnya tetap dilantik, dan roda pemerintahan berjalan sebagaimana biasanya. 

Hanya saja memang partisipasi masyarakat yang rendah dalam menggunakan hak pilihnya dapat menurunkan kualitas demokrasi. Rendahnya kualitas demokrasi dapat mempengaruhi buruknya legitimasi pemerintah yang terbentuk dari hasil pemilu. Rendahnya legitimasi pemerintah akan membuka ruang buruknya pelayanan publik yang diterima masyarakat, serta maraknya praktik KKN karena kurangnya kontrol dari masyarakat. Kondisi ini jika terus-terusan berlangsung akan melahirkan kekecewaaan politik (political disappointed) di dalam masyarakat, yang dapat mendorong tersumbatnya atau melemahnya saranasarana politik formal. 

Melemahnya sarana-sarana politik formal akhirnya akan memicu meningkatnya kembali Absentia Voter pada Pilkada-pilkada selanjutnya. Dan seperti lingkaran setan, para elite politik, pemerintah dan masyarakat akan terjebak dalam situasi transisi permanen, sehingga tidak punya kemampuan untuk mengelola demokrasi ke arah yang efektif. Pilkada sebagai instrumen demokrasi, yang pada mulanya diharapkan dapat menjadi alat untuk melahirkan pemimpin yang kuat, guna membawa masyarakat untuk keluar dari kemelut yang dihadapinya tidak memberikan faedah langsung bagi mereka. Perasaan tidak mendapatkan faedah langsung dari Pilkada ini dapat memperkuat arus pemikiran di tengah masyarakat bahwa ”ikut atau tidak ikut di dalam pemilihan sama saja.

Sama-sama tidak akan menghasilkan perubahan yang berarti” Pemikiran ini kritis sekaligus apatis. Kritis karena perilaku untuk memutuskan tidak memilih itu didasarkan pada penilaian-penilaian (affective and evaluational orientations) terhadap apa yang dilakukan oleh para elite politik. Apatis karena mereka menyerah begitu saja terhadap keadaan yang ada, tanpa berusaha serius ikut memunculkan perubahan. Sebuah perubahan tidak bisa hanya diharapkan datang dari atas (elite politik), namun juga dari keinginan dan peran serta aktif masyarakat. Pilkada merupakan salah satu upaya untuk membangun perubahan ke arah kondisi yang lebih baik tersebut. Karena itu sudah seharusnya bagi setiap warga masyarakat untuk mengambil peran masing-masing untuk menyukseskan agenda dimaksud. 

Dengan kata lain, Pilkada sebagai alat menuju perubahan dapat tercapai, apabila antara partisipasi masyarakat dalam Pilkada dan prilaku elite politik dapat berjalan seiringan. Keserasian keduanya akan mendorong Pilkada menghasilkan pemimpin yang memiliki sense of crisis, ikut merasakan penderitaan masyarakat sehingga melahirkan kebijakan dan keputusan yang propoor, projob dan prodevelopment untuk membebaskan masyarakat dari belenggu masalahnya. Maka, yang diperlukan adalah kepekaan etis dari para elite-elite politik, untuk mengutamakan hajat hidup orang banyak diatas pamrih kekuasaan individu maupun kelompok, serta tumbuhnya kesadaran akan arti etika dan kedamaian, bukan mengedepankan nafsu dan kepentingan pragmatis. 

Karena itu setiap kontestan pada Pilkada Kepri tanggal 26 Mei nanti harus mengedepankan budaya siap kalah dan siap menang. Bagi yang kalah legowo, sedangkan yang menang harus siap merangkul yang kalah untuk turut serta membangun Kepri yang lebih baik lagi kedepan. Budaya siap kalah, siap menang tidak dapat lagi hanya menjadi wacana dan retorika saja, namun harus menjadi bagian dari habitus dan budaya politik di Kepri, sebagai modal sosial untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat Kepri dan masa depan demokrasi yang lebih baik. Batam Pos Senin 17 Mei 2010 (halaman 4).***

OPINI



Mengubah Wajah Indonesia di Selat Malaka


OLEH: DJASARMEN PURBA, SH

INDONESIA adalah satu dari tiga Negara yang berada tepat di Selat Malaka, bahkan 80 persen alur lalu lintas kapal di selat ini berada di wilayah pelayaran Indonesia. Namun Indonesia belum mampu memaksimalkan potensi ekonomi tersebut bagi kepentingan nasional. Selat Malaka merupakan salah satu jalur pelayaran teramai di dunia, setiap hari ini Selat Malaka dilalui oleh lebih dari 200 unit kapal atau sekitar 63.00 kapal per tahunnya, dan sekitar 10 persen di antaranya merupakan kapal tanker minyak berukuran besar. Indonesia yang memiliki teritori dominant di Selat Malaka, seharusnya mampu menangkap peluang yang ada, melalui pengembangan sejumlah kegiatan ekonomi, misalnya penyediaan jasa pelayanan pemanduan kapal, kegiatan alih muatan kapal STS (ship to ship transfer), kegiatan pembekalan (ship provision, equipment supply), kegiatan pengawakan kapal (ship crewing), perbaikan kapal dan lain lain. Tingkat kerawanan kecelakaan yang cukup tinggi menuntut tersediaanya jasa pemanduan kapal di Selat Malaka. 

Penyediaan jasa pemanduaan ini menjanjikan nilai ekonomi yang cukup tinggi, sebagai gambaran kasar; biaya jasa pemandu sekitar 0,026 dolar AS per kapasitas ruang muatan (gross register tonnage/GRT). Seandainya Indonesia dapat melayani 10 kapal tanker berukuran besar per hari dengan asumsi, biaya jasa pemandu sebesar Rp100 juta per kapal—maka pendapatan dari jasa pemandu ini mencapai Rp1 miliar per hari. Jasa pemanduan kapal dapat dilakukan di jalur Selat Malaka, Selat Philip, dan Selat Singapura, yang dimulai dari titik pandu naik (pilot boarding point) di lokasi 01’12’50" N/103’21’42" E pulau Iyu Kecil dan titik pandu turun di lokasi 01’13’30" N/104’01’00" E di perairan Nongsa Batam. 

Namun karena pemerintah tidak terlalu menganggap penting keberadaan Selat Malaka, akibatnya selat Malaka dikuasai oleh Singapura dan Malaysia. Padahal, penyediaan jasa pemanduan kapal seharusnya sudah sejak lama dilaksanakan oleh Indonesia yakni sejak dikeluarkannya TSS (Traffic Separation Zone) for Malacca and Singapore Strait pada tahun 1980 oleh Organisasi Maritim Internasional (IMO International Maritime Organization). TSS mengamanatkan kepada pemerintah tiga Negara di selat Malaka ( Indonesia, Malaysia dan Singapura), untuk menyediakan pelayanan jasa pemanduan bagi kapal-kapal tertentu dengan kapasitas besar, yaitu kapal dengan sarat dalam ( Deep Draft Vessel ) melebihi 15 meter, serta kapal dengan ukuran diatas 150.000GT (VLCC – Very Large Crude Carrier), namun amant ini diabaikan oleh Pemerintah RI Mengingat semakin bertambahnya jumlah lalulintas kapal, serta terus meningkatnya kecelakaan kapal yang sangat fatal di Selat Malaka, pada tahun 1998 IMO melakukan penyempurnaan TSS menjadi yang lebih panjang dan lebih penuh dimulai dari Beting Sedepa (One Fathom Bank) sampai ke Suar Batu Putih (Horsburgh Lt Ho) yang panjangnya tidak kurang dari 250 nm, namun lagi-lagi seruan IMO ini diabaikan pemerintah RI dengan alasan ketiadaan operator dan petugas pemandu. 

Bahkan jauh sebelumnya seruan kepada Indonesia juga pernah disampaikan. Pada tahun 1968 ketika dibentuk Forum TTEG (Three partite Technical Expert Group – tiga Negara pantai), dan Dewan Selat Malaka – Malacca Strait Council (MSC) yang menetapkan sistim pelaporan Selat Malaka (StraitRep), serta Sistem Pengawasan dan Monitoring Kapal (Vessel Traffic Information System – VTIS) dan pengendalian lalulintas kapal untuk keselamatan pelayaran, di Selat Malaka. Seruan agar Indonesia menyediaan jasa pemanduan terus disuarakan berulangulang kali dalam berbagai sidang TTEG. Namun tidak direspon serius oleh pemerintah Indonesia. Baru pada tahun 2002, muncul pemikiran untuk mengembangkan jasa pemanduan di Selat Malaka, dengan pembentukan Tim Penetapan Perairan Pandu Luar Biasa Selat Malaka dan Selat Singapura, yang membuahkan hasil pada tahun 2007, dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut, tentang Penetapan Perairan Pandu Luar Biasa, Selat Malaka dan Selat Singapura, tanggal 27 Desember 2007. Setahun kemudian (2008) Departemen Perhubungan menyelenggarakan pelatihan Pandu Selat Malaka dan Selat Singapura (Deep Sea Pilot), kepada 43 orang staf pemandu. 

Namun demikian, meskipun sudah tersedia staf pemanduan kapal, namun izin penyelengaraan pemanduan kapal di selat Malaka dan selat Singapura yang diajukan PT. Pelabuhan Indonesia (Pelindo) I sejak tahun 2007 belum dianggapi oleh Departemen Perhubungan. Akibatnya amanat IMO belum juga dapat dilaksanakan Indonesia hingga hari ini. Belakangan secercah cahaya mulai tampak. Dalam pertemuan dengan Menteri Perhubungan, Freddi Numberi dengan saya (Jasarmen Purba) awal bulan lalu. 

Menhub secara tegas mengatakan bahwa kegiatan pemanduan kapal di wilayah RI tidak boleh dilakukan oleh negara lain karena akan menginjak-injak kedaulatan NKRI. Pada kesempatann itu juga Menhub cq Dirjen perhubungan laut memberikan izin kepada PT. Pelindo I untuk melakukan usaha pemanduan kapal di wilayah Selat Malaka dan Selat Singapura. Penyediaan jasa pemanduan kapal di selat Malaka dan Selat Singapura oleh Indonesia, tidak saja akan merubah wajah Indonesia di Selat Malaka, lebih jauh dapat mencegah upaya Internationalisasi Selat Malaka yang belakangan semakin digencarkan dilakukan pihak-pihak tertentu. Bukan rahasia umum lagi bahwa sejumlah negara-negara besar sejak dahulu telah secara jelas menunjukkan keinginannya dan minatnya untuk dapat ikut campur mengendalikan pengelolaan Selat Malaka. Dengan demikian penyediaan jasa pemanduan kapal di Selat Malaka, bukan semata-mata persoalan ekonomi belaka, namun menyangkut harga diri bangsa dan penegakan kedaulatan dan kesatuan NKRI. Batam Pos Selasa 14 Juni 2011(halaman 4).****


OPINI


Menggagas ”Kontrak Politik”
untuk Pilwako Batam

OLEH: DJASARMEN PURBA, SH

Isu-isu mengenai pergantian kepemimpinan daerah melalui sebuah proses pemilihan langsung mwali kota Batam yang direncanakan pada 5 Januari 2011, dalam beberapa waktu belakangan ini mendapat tempat yang khusus dalam berbagai interaksi sosial politik masyarakat Kota Batam. Berbagai diskursus dalam ruang-ruang publik dipenuhi berbagai wacana, mulai dari soal figur kandidat, kendaraan politik, anggaran penyelenggaraan pilkada oleh KPUD, black campaign, money politics, dan berbagai wacana lainnya. 

Namun sayangnya hingar-bingarnya  banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas pengingkaran sang pemimpin. Tontonan kepura-puraan tersebut pada akhirnya melahirkan sikap trauma dan antipati rakyat terhadap para pemimpinnya. Pilwako Batam yang berlangsung di tengah merosotnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya, menuntut setiap calon wali kota Batam untuk melakukan berbagai terobosan politik untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Janji-janji politik yang diucapkan secara retoris di atas panggung kampanye telah kehilangan keampuhannya. 

Para calon harus memberikan alternative yang lebih menjanjikan kepada rakyat. perdebatan yang berlangsung di tengah masyarakat tersebut tampaknya masih belum mampu membangun hubungan programatik para calon kepala daerah itu dengan realitas sosialnya. Perdebatan yang berlangsung masih terbatas pada hal-hal normatif dan kepentingan politik sesaat saja. Kalaupun perdebatan menyentuh program-program yang ditawarkan oleh para calon wali kota, hal tersebut baru terbatas pada jargon-jargon yang
membius tanpa makna. Bahkan celakanya jargon-jargon tersebut justeru menjadi alat bagi si calon untuk menyajikan tontonan kepura-puraan belaka. 

Panggung-panggung politik yang disesaki kampanye, brosur, pamflet, dan banner hanya mampu menjadi saksi bisu atas pengingkaran sang pemimpin. Tontonan kepura-puraan tersebut pada akhirnya melahirkan sikap trauma dan antipati rakyat terhadap para pemimpinnya. Pilwako Batam yang berlangsung di tengah merosotnya kepercayaan rakyat terhadap pemimpinnya, menuntut setiap calon wali kota Batam untuk melakukan berbagai terobosan politik untuk mengembalikan kepercayaan tersebut. Janji-janji politik yang diucapkan secara retoris di atas panggung kampanye telah kehilangan keampuhannya. Para calon harus memberikan alternative yang lebih menjanjikan kepada rakyat. 

Di antara berbagai alternatif tersebut adalah ”kontrak politik” yang bersifat mengikat antara si calon dan rakyatnya. Sebagaimana halnya pernah dilontarkan oleh seorang pengusaha sukses di Batam. Merujuk pada pendapat Thomas Hobbes, kontrak sosial atau kontrak politik itu terjadi karena empat hal yaitu, Pertama, ada fakta bahwa mereka samasama memiliki kebutuhan dasar. Kedua, jikalau tidak cukup barang-barang pokok untuk dibagi-bagikan, siapakah yang boleh memperolehnya? Ketiga, adanya fakta berkekurangan. Keempat, jikalau kita tidak dapat berhasil dengan mengandalkan kekuatan sendiri, harapan apakah yang dapat kita miliki?

Dari pengertian ini, jelas apa yang dimaksud dengan kontrak politik bertujuan untuk kebaikan bersama di antara pihak-pihak yang menandatangani kontrak tersebut. Bagi si calon walikota, sejatinya kontrak politik adalah manifesto peneguhan sikap moral
kepemimpinan dan kenegarawanan untuk sungguh-sungguh dan penuh kejujuran atas detail klausa pengikatan diri dengan rakyat. Kalau saja pemimpin berangkat dari semangat ini, maka kontrak politik menjadi alternatif ideal atas upaya pencarian figur sang kandidat. Sementara bagi masyarakat kesepakatan tersebut merupakan salah satu instrumen bagi masyarakat untuk menguji kesungguhan sang kandidat. 

Disamping tersebut kontrak politik memberikan jaminan bahwa programprogram yang dijalankan oleh si calon jika kelak terpilih akan benar-benar memiliki keberpihakan pada masyarakat. Dalam perspektif Kota Batam, pemilihan wali kota pada 5 Januari 2011 nanti merupakan momentum strategis karena bukan hanya prosedurnya (demokrasi prosedural) dipilih langsung oleh rakyat sesuai hak politiknya, tetapi juga dapat menjadi media kontrak politik para calon kepala daerah untuk menjamin hak sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat koat Batam. 

Secara sederhana ada beberapa point penting yang harus dipenuihi oleh tiap walikota terpilih yaitu; menjadikan Batam sebagai kawasan Perdagangan Bebas (Free Trade Zone/FTZ), merubah status lahan Rempang-Galang, menurunkan angka penganguran dan kemiskinan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Tiap klausul (isi kontrak) haruslah dibuat secara jelas dan terukur. Sehingga dengan demikian akan jelas indikator bila sukses (tercapai) atau tidaknya. Kontrak politik soal perubahan status lahan Rempang-Galang misalnya, harus jelas berapa lama Target waktu yang ditetapkan untuk perubahan lahan tersebut. 

Hal lain yang perlu dari sebuah kontrak politik disamping cara-cara pemenuhan kontrak, juga menyangkut kesepakatan cara dan proses melakukan tuntutan jika sebuah kontrak gagal dipenuhi oleh si calon wali kota yang menjanjikan sesuatu. Misalnya jika si wali kota terpilih tidak berhasil mewujudkan isi kontrak politik maka yang bersangkutan bersedia turun ditengah masa jabatannya. Beberapa hal di atas merupakan asas-asas berkontrak, yang akan memposisikan apakah sebuah kontrak benar-benar memiliki kekuatan hukum, atau sekadar bermuatan norma social yang sulit untuk “diklaim”. 

Jika isi klausul kontrak politik ternyata banyak mengandung hal-hal yang (secara hukum) kabur, tentunya hal ini adalah bentuk dari upaya manipulasi. Karena itu, sebagai seorang democrat sejati, setiap calon wali kota Batam yang akan bertarung pada 5 Janurai 2011 nanti harus siap dan bersedia melakukan kontrak politik, untuk membawa perubahan yang berarti dan lebih baik atas nasib masyarakatnya. Batam Pos Senin 11 Oktober 2010 (halaman 4).***

OPINI


Mencari Akar Rusuh
Buruh Drydocks World


OLEH: DJASARMEN PURBA, SH


Dinamika yang berkembang dalam perburuhan di Indonesia dewasa ini, yakni menguatnya sentimen anti liberalisasi pada sector perburuhan. Kerusuhan di PT Drydocks World Graha beberapa waktu lalu bukan semata mata soal ketersinggungan buruh lokal terhadap pernyataan bernada rasis dari salah seorang ekspatriat. Namun juga dilatarbelakangi kebijakan pemerintah yang menganut prinsip persaingan bebas di pasar tenaga tenaga. 

Tuntutan penciptaan iklim investasi yang kondusif telah mendorong pemerintah menempuh sejumlah kebijakan yang menekankan efisiensi secara berlebihan untuk meningkatkan investasi melalui penerapan fleksibilitas pasar tenaga kerja (labour market flexibility). Labour market flexibility menekankan penerapan kebijakan upah murah, menghapus perlindungan tenaga kerja, yang berakibat hilangnya keamanan kerja (job security) bagi buruh, serta perubahan status dari buruh tetap menjadi buruh kontrak. 

Kompas dalam laporan akhir tahunnya (11/ 12/2007) menyatakan sepanjang tahun 2007 terdapat 22.275 perusahaan yang menyerahkan sebagian atau hampir semua pekerjaannya kepada pihak ketiga (outsourcing). Padahal, semua perusahaan tersebut masih memiliki 2.114.774 tenaga kerja. Data Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi menyebutkan, ada 1.082 perusahaan penyedia jasa pekerja yang mempekerjakan 114.566 orang. Selain itu, ada juga 1.540 perusahaan pemborongan pekerjaan yang mempekerjakan 78.918 orang. Konsekuensi dari penerapan kerja kontrak dan outsourcing secara langsung telah membuka ruang seluas-luasnya kepada perusahaan untuk mempekerjakan buruh selama waktu tentu tanpa menjamin bahwa buruh bersangkutan akan diangkat menjadi tenaga kerja tetap. 

Terlebih perusahaan cenderung mempekerjakan buruh tidak lebih dari satu tahun, kemudian merekut tenaga kerja baru yang baru lulus sekolah (fresh graduated). Kondisi ini menempatkan seseorang buruh, bukan saja tidak mempunyai rasa memiliki sense of belonging) pada perusahaan tempatnya bekerja, tetapi juga membuatnya kehilangan akan bayangan masa depan dari pekerjaan yang dilakoninya. Jika mereka bekerja hanya untuk beberapa bulan saja, sebelum akhirnya diputus kontraknya, maka bagi tidak ada yang perlu dipertahankan dari pekerjaan di perusahaan tersebut. Berangkat dari alasan semacam ini, barangkali dapat dipahami mengapa aksi buruh di PT Drydocks World Graha dapat terjadi.

Penempatan TKA
Terlebih liberalisasi sektor perburuhan pada kenyataannya telah mendorong persaingan dipasar tenaga kerja bukan saja antara buruh lokal, namun juga antara buruh lokal dengan buruh asing yang jauh lebih terampil, untuk menempati berbagai posisi pekerjaan. Buruh Indonesia sebagaimana diketahui, didominasi tenaga kerja kurang terampil. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada 2009, buruh Indonesia yang menyelesaikan LOGIKA sederhana mengatakan bagaimana mungkin ribuan buruh galangan kapal PT Drydocks World Graha, Tanjunguncang, Batam yang pada mulanya melakukan demonstrasi dapat melakukan aksi pengrusakan terhadap tempatnya mencari nafkah. Aksi tertinggi dalam demonstrasi buruh adalah perebutan alat produksi. Artinya dalam aksinya buruh tidak akan menghancurkan aset perusahaan. 

Namun menguasainya untuk selanjutnya menjalankan roda produksi secara kolektif demi kesejahteraan bersama. Tapi aksi amuk buruh di Batam, barangkali memberikan gambaran lain terhadap pendidikan tinggi (akademi atau universitas) hanya sebesar 1,2 juta orang atau kurang dari 12 persen dari total jumlah pekerja yang ada. Persaingan yang tidak adil ini, menimbulkan gesekan antara buruh lokal dan buruh asing. Terlebih pada prakteknya di lapangan buruh-buruh asing acapkali merendahkan buruh-buruh lokal, sebagaimana yang terjadi di PT Drydocks World Graha, Batam. Semestinya untuk mengurangi ketegangan semacam ini, pekerjaan pada level middle dan low managemen tidak perlu diserahkan kepada buruh asing, namun dapat diisi oleh tenaga kerja lokal. 

Tapi kenyataanya, Prabaharan warga negara (WN) India yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus rusuh di Batam, menduduki jabatan supervisor, yang berada pada level low management. Dapat disimpulkan bahwa akar permasalah gejolak buruh di Batam, dan disejumlah wilayah lain, sebenarnya adalah kebijakannya perburuhan yang mendasarkan pada labour market flexibility, yang dinilai mengabaikan hak-hak buruh, dan mengacam kelangsungan masa depan mereka. Karena itu, pada, pemerintah mengkaji ulang kebijakanya di sektor perburuhan, terutama menghapuskan kerja kontrak dan outsourcing, upah murah, dan union busting. Selama pemerintah tidak merubah kebijakannya, maka selama itu juga potensi rusuh buruh seperti di Batam akan terus menciptakan Lebensraum (ruang hidupnya) Batam Pos Senin 3 Mei 2010 (halaman 4). *****