Politik Pencitraan Sampah
OLEH:
DJASARMEN PURBA, SH
Namun, setahun kemudian semua prestasi tiga tahun itu tiba-tiba sirna begitu saja, tak berbekas, terbalik 180 derajat. Dua tahun kemudian berturut-turut (2010 dan 2011) Batam kembali ke wajah aslinya menjadi kota terkotor di Indonesia. Banyak yang bertanya-tanya mengapa perubahan-perubahan itu berlangsung secara extrem, dari kota terkotor langsung menyabet Piala Adipura, dari predikat kota terbersih terjerembab kembali jadi kota terkotor. Apa sesungguhnya yang terjadi? Ada segudang pertanyaan di kepala masyarakat. Menurut hemat penulis, inilah wajah asli Batam sesungguhnya, tidak saja wajah tata ruangnya, lebih jauh wajah birokrasi (pemerintah kota) sesungguhnya. Pemko
Batam seolah-olah tidak memiliki visi dan blue print managemen pengelolaan sampah yang benar. Kebijakan-kebijakan yang dibuat selama ini hanya bersifat adhoc dan reaksioner. Sekadar ingin menutupi borok sesaat, untuk kemudian dibiarkan lagi menyebar ke tiap-tiap sudut kota. Apa yang kemudian disebut borok? Penulis menduga itu adalah citra (nama baik). Predikat kota terkotor telah mencoreng nama baik Pemerintah Kota Batam,sebab itu sang Wali Kota segera memperbaikinya, dan dalam sekejab semuanya kembali seperti sediakala bahkan lebih baik lagi, mendapat sanjungan Adipura. Tapi, untuk siapa piala Adipura itu, untuk Batam, untuk seluruh masyarakat Batam? Penulis kira piala itu sejatinya ditujukan untuk masyarakat Batam, bukan untuk segelintir elit penguasa yang membutuhkan sanjungan, yang tak ingin citranya ternodai
Ketika mendapat predikat kota terkotor se Indonesia tahun 2005, citra Batam, lebih- lebih citra Wali Kota Batam “terpuruk”, dan sebab itu Wali Kota segera membayar lunas di tahun 2007, 2008 dan 2009 dengan piala Adipura sehingga citranya “tersanjung”. Namun Batam yang bersih dan berseri-seri di tahun-tahun itu, belum menyentuh masyarakatnya menjadi lebih sehat, lebih nyaman. Begitulah politik pencitraan, politik sesaat. Ketika citra telah kembali pulih,target berhasil diraih. Semuanya akan kembali seperti semula. Sampah-sampah akan menumpuk lagi, lalat-lalat berterbangan, bau busuk menyebar ke seantero kota, bangun-bangun liar akan berjejal kembali menyesaki badan trotoar sepanjang jalan, lalu masyarakat menjadi sakit dan kota tak nyaman lagi ditempati.
Pencitraan sah-sah saja, namun bila pencitraan ditempatkan sebagai segala-galanya bahkan mengalahkan rakyat (masyarakat), beginilah jadinya, apa yang buruk di masa lalu akan terus berulang di masa datang. Segala persoalan ditangani secara adhoc dan sesaat, tidak ada blue print yang jelas dan berjangka panjang. Akibatnya “kegaduhan” kembali terjadi. Di awal tahun 2010 pengelolaan sampah di Kota Batam benar-benar amburadul.
Kontrak kerjasama pengeloaan sampah antara Pemko Batam dengan PT. SS selaku perusahaan tunggal pemenang tender swastanisasi sampah terputus di tengah jalan. Pemko lalu menunjuk PT RGA sebagai pengganti. Namun masalahnya tak juga selesai, sampah masih saja menumpuk tak terangkut dimana-mana. Kondisi ini diperparah dengan perselisihan antara pemko Batam dan DPRD Batam menyangkut penambahan anggaran Rp4,3 miliar yang diajukan Pemko yang disetujui oleh DPRD, tanpa terlebih dahulu dibahas oleh Banggar (Badan Anggaran), sehingga persoalan ini semakin berlarut-larut. Suatu ketika di awal bulan Oktober 2011, Ketua Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) wilayah Sagulung, menelpon saya, (penulis) minta bantuan 1 (satu) unit Beko untuk mengangkut sampah yang telah menggunung.
Mereka berujar jika sampah tersebut tidak segera diangkut, maka akan menimbulkan penyakit dan bau busuk dimana-mana. Ketika beko di kirim, rupanya kelihatan berbagai lapisan masyarakat juga secara gotong royong / swadaya memberikan bantuan. Apakah hal seperti ini yang diinginkan Pemko Batam ? Menurut peraturan yang berlaku bahwa pemerintah bertanggung jawab untuk mengelola kebersihan/sampah. Oleh karena itu seharusnya Pemerintah Daerah Kota Batam sudah punya grand design kebersihan sampai dengan 30 tahun yang akan datang. Penulis berpendapat akar permasalahan pengelolaan sampah di Batam selama ini bermula dari pendekatan politik yang digunakan oleh pemerintah.
Pemko menangani sampah karena ingin memperbaiki citranya di mata “Jakarta” bukan untuk menyehatkan masyarakat Batam. Bila kemudian belakangan, persoalan sampah masuk ke ranah politik di DPRD, penulis kira ini konsekuensi logis dari pendekatan yang selama ini digunakan pemerintah Batam sendiri. Karena itu stop ”mempolitikan” sampah, mulailah bekerja untuk kepentingan rakyat banyak, Selama upaya-upaya penanganan sampah tidak ditujukan kepada masyarakat, namun demi kepentingan politik sesaat, selama itu juga akan ada masalah besar yang terus menyelimutinya. Batam Pos Sabtu 5 November 2011(halaman 4).***