Oleh: Djasarmen Purba.SH
Anggota DPD RI Asal Provinsi Kepri
|
Segera Pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah ( BPBD) Kota Batam
Wilayah kota Batam secara geografis,
hidrologis dan klimatologis memungkinkan terjadi berbagai ancaman bencana
dengan risiko yang tinggi. Secara administratif kota Batam meliputi 12 Kecamatan yang terdiri dari 74 desa
dan kelurahan. Sebagian besar wilayahnya berada dalam kawasan rawan bencana
baik yang berasal dari ancaman banjir, gelombang pasang/abrasi, kebakaran dan
angin puting beliung. Keragaman ancaman bencana ini , tentunya memerlukan
penanggulangan yang sistematis dan terpadu
sehingga mampu mengurangi tinggi risiko yang dihadapi.
Sejarah kebencanaan di kota Batam
menunjukkan, akibat hadirnya ancaman yang menjadi bencana menimbulkan dampak
yang cukup signifikan berupa kerugian,
kerusakan dan kehilangan aset kehidupan dan penghidupan baik masyarakat maupun
pemerintah. Kerugian dan kerusakan itu,
setidaknya menyangkut beberapa aset antara lain; aset fisik dan infrastruktur,
aset ekonomi, aset sosial, aset alam dan lingkungan, dan aset manusia. Sebagai
contoh tahun 2013 di Kota Batam baru menginjak medio Januari, telah terjadi
beberapa kali bencana seperti, Kebakaran dan terpaan Puting Beliung.
Bulan-bulan berikutnya kita belum bisa mendeteksi bencana, semoga tidak terjadi
seperti yang dialami Ibukota Jakarta saat ini., Tingginya ancaman dan resiko tersebut
tidak diimbangi oleh sistem penanggulangan bencana yang memadai, terpadu,
sistematis dan terencana.
Pengurangan risiko bencana sangat nyata
tertuang dalam Undang-Undang No. 24 tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana,
yang menekankan tidak sekedar tanggap darurat semata, tapi meliputi tiga fase
atau tahapan yaitu; fase pra bencana, fase saat tanggap darurat dan fase pasca
bencana.
Penanggulangan bencana pada saat tanggap
darurat meliputi: (1) pengkajian secara cepat dan tepat terhadap lokasi,
kerusakan, dan sumber daya; (2) penentuan status keadaan darurat bencana; (3) penyelamatan dan
evakuasi masyarakat terkena bencana; (4) pemenuhan kebutuhan dasar; (5) pelindungan terhadap
kelompok rentan; dan (6) pemulihan dengan segera prasarana dan sarana vital.
Penyelenggaraan penanggulangan bencana
pada tahap pascabencana meliputi rehabilitasi dan rekonstruksi. Rehabilitasi
dilakukan melalui kegiatan: (1)
perbaikan lingkungan daerah bencana; (2) perbaikan prasarana dan sarana
umum; (3) pemberian bantuan perbaikan rumah masyarakat; (4) pemulihan sosial psikologis; (5)
pelayanan kesehatan; (6) rekonsiliasi dan resolusi konflik; (7) pemulihan sosial ekonomi
budaya; (8) pemulihan keamanan dan ketertiban; (9) pemulihan fungsi
pemerintahan; dan (10) pemulihan fungsi pelayanan publik.
Apa
Itu BPBD
Kerja-kerja penyelenggaraan
penanggulangan bencana seperti yang diamanatkan UU No.24/2007 mensyaratkan
adanya institusi kelembagaan yang mampu melakukan kerja koordinasi,
konsolidasi, komando dan pelaksana penanggulangan bencana. Berangkat dari
kebutuhan institusi diatas, maka Undang-Undang mengamanatkan setiap daerah
membentuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD).
BPBD adalah sebuah lembaga khusus yang
menangani Penanggulangan Bencana (PB) di Daerah, baik di tingkat Provinsi maupun
kabupaten/kota. Di tingkat nasional ada Badan Nasional Penanggulangan Bencana
(BNPB). BNPB dan BPBD dibentuk berdasarkan amanat Undang-Undang No. 24 Tahun
2007 tentang Penanggulangan Bencana (UU 24/2007). Dengan adanya BNPB maka
lembaga PB sebelumnya, yaitu Badan Koordinasi Nasional Penanganan Bencana
(Bakornas PB) dibubarkan (Pasal 82, ayat 2 UU 24/2007). Dengan demikian
pembubaran Bakornas PB membawa implikasi juga dibubarkannya rantai
komando/koordinasi Bakornas di daerah seperti Satuan Koordinasi Pelaksana
Penangangan Bencana (Satkorlak PB) dan Satuan Pelaksana Penanganan Bencana
(Satlak PB) bila nantinya sudah dibentuk BPBD.
Badan Penanggulangan Bencana Daerah mempunyai
fungsi: (1) perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan
penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien; serta (2) pengoordinasian
pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu, dan
menyeluruh.
Tugas BPBD yakni: (1) menetapkan pedoman
dan pengarahan sesuai dengan kebijakan Pemerintah Daerah dan Badan Nasional
Penanggulangan Bencana terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup
pencegahan bencana, penanganan darurat,
rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara; (2) menetapkan standardisasi serta kebutuhan
penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan peraturan
perundang-undangan; (3) menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan
bencana; (4) menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana; (5)
melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya; (6)
melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah
setiap sebulan sekali dalam kondisi
normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana; (7) mengendalikan
pengumpulan dan penyaluran uang dan
barang; (8) mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari
anggaran pendapatan belanja daerah; dan (9) melaksanakan kewajiban lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
Landasan
Hukum
BPBD dibentuk oleh Pemerintah Daerah
(Pasal 18, ayat 1 UU 24/2007); di tingkat provinsi BPBD dipimpin oleh seorang
pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib (Pasal 18, ayat 2a
UU 24/2007) dan di tingkat kabupaten/kota BPBD dipimpin oleh seorang pejabat
setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa (Pasal 18, ayat 2b
UU 24/2007). Pejabat setingkat eselon Ib di tingkat Provinsi dan pejabat
setingkat eselon IIa di tingkat kabupaten/kota adalah setara dengan Sekretaris
Daerah (Sekda).
Secara teknis pembentukan BPBD diatur
dengan Permendagri 46/2008 tentang Pedoman Organisasi dan Tata Kerja BPBD dan
Perka BNPB 3/2008 tentang Pedoman Pembentukan BPBD. Payung hukum tertinggi
pembentukan BPBD adalah UU 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Permendagri 46/2008 ini mengacu kepada
Pasal 25 UU 24/2007, dan Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 2007 tentang
Organisasi Perangkat Daerah (PP 41/2007), Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah (UU 32/2004), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun
2007 tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah Daerah Provinsi
dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (PP 38/2007), Peraturan Presiden Nomor 8
Tahun 2008 tentang Badan Nasional Penanggulangan Bencana dan Keputusan Menteri
Dalam Negeri Nomor 130 Tahun 2003 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Dalam Negeri sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 25 Tahun 2008 (Permendagri 25/2008).
Sedangkan Perka BNPB 3/2008 mengacu pada
UU 32/2004, UU 24/2007, PP 38/2007, PP 41/2008, PP 21/2008, PP 22/2008, PP
23/2008, Perpres 8/2008, Peraturan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana
Nomor 1 Tahun 2008 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Nasional
Penanggulangan Bencana (Perka BNPB 1/2008), Permendagri 46/2008.
Berdasarkan realitas tersebut, maka
menjadi penting dan mendesak bagi pemerintah kota Batam untuk segera membentuk Badan
Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) yang memiliki tugas dan fungsi
mengkoordinasi, mengkonsolidasi dan melaksanakan seluruh proses penyelenggaraan
penanggulangan bencana di kota Batam.
Sebagaimana diketahui, Pemko Batam tidak
bisa menerima dana/bantuan dari APBN untuk Penanggulangan Bencana, jika BPBD
belum terbentuk.
Sepengetahuan penulis Pihak Badan
Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) maupun Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Provinsi Kepri, telah beberapa kali mengadakan sosialisasi pada
pejabat Pemko Batam agar membentuk BPBD, namun sampai saat ini tidak direspon.
Sebagaimana dilansir oleh Anggota DPRD
Kota Batam, Asmin Petrus SH, menyatakan agar Pemko Batam segera membentuk BPBD.
Menurut hemat penulis, jika Pemko Batam tidak/belum bersedia membentuk BPBD,
sebaiknya DPRD Kota Batam memutuskan mengambil hak inisiatif Perda Pembentukan
BPBD.
"Terbit Batam Post, 28 Januari 2013 hal. 6"