Merdeka
Dari, Merdeka Untuk
Oleh:
Djasarmen Purba, SH
Mengikuti jalan
fikiran Erich Formm, semangat pendeklarasian kemerdekaan Indonesia pada 17
Agustus 1945, pukul 10 pagi di jalan
Pengangsaan Timur itu yang disampaikan Bung Karno dan Bung Hatta atas nama
bangsa Indonesia, sesungguhnya bukanlah sekedar merdeka dari (free from), namun juga, merdeka untuk (free to).
Karena
itu, proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan sekedar penegaskan pemindahan
kekuasaan dari bangsa Jepang kepada Bangsa Indonesia. Lebih jauh, proklamasi mengsiyaratkan
tanggung jawab kepada para penerima (bangsa Indonesia) untuk mengisi penyataan kemerdekaan
tersebut.
Merujuk
kebelakang sebelum momentum berharga di bulan Agustus itu, penegaskan akan
cita-cita kemerdekaan Indonesia di sampaikan Bung Karno dalam sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan
Peyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia/BPUPKI) 1 juni 1945—yang
menandai lahirnya Pancasila, menyatakan bahwa kemerdekaan adalah, politieke onafhankelijkheid, political
independence yang tak lain dan tak bukan ialah satu jembatan emas.
Dengan
menggunakan pendekatan Philosophische
Untersuchungen yang dirumuskan Ludwig
Wittgenstein (1889-1951), “jembatan emas” dalam pidato Bung Karo tersebut
dapat bermakna bahwa kemerdekaan bukan akhir perjuangan, tetapi sekadar sarana,
penghubung antara apa yang diupayakan dimasa lalu dengan apa yang hendak
dicapai pada masa depan.
Lalu
apa yang hendak dicapai dimasa depan, didalam Indonesia merdeka ? Bung Karno
menjelaskan, ”Di dalam Indonesia merdeka, kita melatih pemuda kita agar menjadi
kuat. Di dalam Indonesia merdeka kita menyehatkan rakyat sebaik- baiknya.
Inilah maksud saya dengan perkataan ’jembatan’. Di seberang ’jembatan emas’
inilah kita baru leluasa menyusun masyarakat Indonesia merdeka yang gagah,
kuat, sehat, kekal, dan abadi.”
Namun setelah enam puluh tujuh tahun merdeka, sebagai bangsa
kita tampak semakin sesusah bangga. Alih-alih bergerak mencapai cita-cita
kemerdekaan: masyarakat adil dan makmur. Indonesia justeru secara meyakinkan berjalan
menuju kejurang kegagalan.
Pertengahan Juni lalu dalam Indeks Negara Gagal (Failed States Index/FSI) 2012 yang
disusun lembaga riset nirlaba The Fund
for Peace (FFP) bekerja sama dengan majalah Foreign Policy. Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara
atau masuk dalam kategori negara-negara yang dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal.
Sepanjang satu tahun terakhir kondisi Indonesia dipandang
semakin memburuk dibandingkan periode sebelumnya. Tiga dari dua belas indikator
yang digunakan untuk menyusun FSI cenderung terus memperlihatkan keadaanya yang
memburuk di Indonesia. Ketiga indikator itu adalah tekanan demografis, protes
kelompok-kelompok minoritas di masyarakat, dan hak asasi manusia.
Menurut FFP beberapa persoalan utama yang dihadapi Indonesia
saat ini antara lain, pembangunan infrastruktur, pengangguran, korupsi,
kekerasan terhadap kelompok minoritas agama, dan pendidikan, juga masalah
kesehatan dan lingkungan, seperti degradasi lahan dan masalah air bersih.
Jika ditilik dengan seksama dari berbagai aspek sesungguhnya
Indonesia memenuhi unsur-unsur dari negara gagal. Kegagalan pelayanan publik,
korupsi politik, dan pelayanan sosial tidak jalan, yang merupakan ciri-ciri
negara gagal, sama seperti dengan ciri-ciri Indonesia hari ini.
Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia berada di urutan keenam
negara terburuk setelah Myanmar (urutan ke-21), Timor Leste (ke-28), Kamboja
(ke-37), Laos (ke-48), dan Filipina (ke-56). Anggota lain ASEAN berada pada
posisi jauh lebih baik daripada Indonesia, yakni Thailand (ke-84), Vietnam
(ke-96), Malaysia (ke-110), Brunei (ke-123), dan Singapura (ke-157).
Sedangkan peringkat pertama negara gagal diduduki oleh Somalia,
yang menghadapi berbagai masalah terkait dengan kondisi tanpa hukum yang terus
meluas, pemerintahan yang tak efektif, terorisme, pemberontakan, kriminalitas,
dan serangan perompak terhadap kapal-kapal asing. Dan negara terbaik ditempati
oleh Finlandia yang memiliki berbagai indikator ekonomi dan sosial yang kuat,
pelayanan publik yang prima, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia dan
supremasi hukum.
Ketika
Republik, hari ini mencapai umur 67 tahun, pertanyaannya kemudian; sudahkah
diseberang jembatan emas itu Indonesia “merdeka
dari” dan “merdeka untuk” dapat
terwujudkan ? (dimuat di Batam Pos, tanggal 23 Agustus 2012, halaman 2). ***