Pengujian UU Np.17 Tahun 2014 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) terhadap UUD 1945 di MK,
Pemohon : Gusti Kanjeng Ratu Hemas, Djasarmen Purba, S.H., Ir. Anang Prihantoro, dan Marhany Victor Poly Pua.
Kuasa Hukum : Law Firm A.Irmanputra Sidin & Associates
Perkara No 109/PUU-XIV/2016
Pasal yang diuji dalam UU MD3 : Pasal 15 ayat (2) menyatakan :“Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap.”Pasal 84 ayat (2) menyatakan : “Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap.”Pasal 260 ayat (1) menyatakan : “Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD.” Pasal 300 ayat (2) menyatakan :“Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD.” Alasan konstitusional Masa Jabatan Pimpinan MPR, DPR dan DPD Bahwa norma-norma UU MD3 yang mengatur tentang Pimpinan lembaga legislatif (DPD, MPR, dan DPR) ketika norma tersebut mengatur dipilih dari dan oleh anggota masing-masing lembaga namun tidak mengatur dan menentukan masa jabatan pimpinan lembaga legislatif yang akan dipilih tersebut. Masa jabatan Pimpinan MPR, DPD, dan DPR yang hanya diatur dalam level Peraturan Tata Tertib masing-masing lembaga jelas dapat menimbulkan gejolak dan perubahan konstalasi politik yang tidak menentu. Masa jabatan pimpinan ketiga lembaga kekuasaan legislatif tersebut, setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun Pimpinan-nya dapat berganti sesuai dengan “deal-deal politik” yang terjadi di lembaga tersebut. Anggota MPR, DPR, dan DPD yang memilih dan dipilih tidak jelas dan tidak ada kepastian hukum untuk berapa lama masa jabatan Pimpinan tersebut. Dengan nihilnya kepastian mengenai masa jabatan Pimpinan MPR, DPR dan DPD, maka setiap detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun Pimpinannya dapat berganti sesuai dengan deal-deal politik yang terjadi di lembaga tersebut yang tentunya menggunakan legitimasi paripurna guna mewujudkannya. Persoalan penafsiran terhadap masa jabatan yang menimbulkan ragam penafsiran haruslah diselesaikan dengan memberikan penafsiran yang benar yang memberikan kepastian hukum yang adil menurut konstitusi. Jikalau tidak, maka kejadian yang terjadi saat ini di DPD bisa menjangkiti kamar sebelahnya yaitu DPR bahkan MPR. Apabila itu terjadi maka setiap tahun kita akan lihat, dunia politik akan melakukan pertengkaran internal guna saling menggulingkan kekuasaan dengan menggunakan rezim masa jabatan pimpinan. Hal ini akan bermasalah ketika diperhadapkan bahwa dogma sidang paripurna adalah forum tertinggi ketika undang-undang tidak mengaturnya secara jelas dan tegas akan masa jabatan pimpinan, maka parlemen akan dengan mudah mengatur dan memberlakukan masa jabatan pimpinan DPD dan parlemen lainnya berdasarkan “hukum rimba politik”, siapa yang kuat maka itulah yang menang (berlaku). Dalam artian bahwa demokrasi kita akan terseret pada ruang demokrasi kuantitatif belaka bukan demokrasi kualitatif dimana ada konstitusi yang memberikan payung hukum secara tegas. Pada konteks demokrasi kualitatif inilah yang disebut prinsip demokrasi konstitusional bahwa kedaulatan berada ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar (Pasal 1 ayat 2 UUD 1945). Artinya, ketiadaan masa jabatan pimpinan lembaga legislatif akan melanggar prinsip demokrasi konstitusional (constitutional democracy principle). Oleh karenanya kepastian mengenai batas waktu jabatan Pimpinan MPR, DPR, dan DPD perlu diatur dalam hukum yang sifatnya statis untuk menjaga dan menciptakan stabilitas dan kepastian hukum, perubahan hukum yang lentur akan menimbulkan ketidakpastian yang tentunya cenderung akan menimbulkan anarki (Putusan MK No.51-52-59/PUU-VI/2008). Bahwa persoalan masa jabatan Pimpinan lembaga DPD , MPR , dan DPR adalah persoalan konstitusional yang harus segera diselesaikan demi terwujudnya ketatanegaraan yang ajeg, kepastian hukum yang adil, dan demi stabilitas politik serta terwujudnya tugas dan fungsi lembaga legislatif yang konstan dan tidak terganggu. Bahwa oleh karenanya guna mengantisipasi hal tersebut sesungguhnya intensi konstitusi (constitutional intent) menunjukkan bahwa masa jabatan pimpinan kekuasaan legislatif mengikuti masa jabatan anggotanya, sebagaimana rezim pemilu / politik 5 tahunan yang telah ditegaskan lebih dulu melalui masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden dalam UUD 1945. Kekuasaan lembaga legislatif (MPR, DPR, DPR, dan DPRD) dan Eksekutif (Presiden) merupakan jabatan politik yang mengikuti rezim pemilu 5 tahunan. Artinya Pimpinan Kekuasan legislatif pun seharusnya mengikuti rezim pemilu 5 tahunan (Pasal 2 ayat (1), Pasal 7, Pasal 19 ayat (1), Pasal 22C ayat (1), Pasal 22E ayat (1), Pasal 22E ayat (2) UUD 1945). Pembatasan masa jabatan anggota MPR, DPR dan DPD kemudian didasarkan pada periode politik 5 tahunan/pemilu. Anggota MPR, DPR, dan DPD memperoleh sumber konstitusionalitas masa jabatan jelas berdasarkan pada periode politik pemilihan umum 5 tahun sekali. Pimpinan MPR, DPR dan DPD yang juga sebagai anggota MPR, DPR, dan DPD yang merupakan representasi lembaga MPR, DPR, dan DPD juga terikat dan dibatasi masa jabatannya dengan agenda demokrasi pemilu 5 tahun sekali. Bahwa berdasarkan uraian tersebut diatas jelas secara konstitusional masa jabatan Pimpinan DPD-RI adalah 5 (lima) tahun, dan materi masa jabatan ini sesungguhnya materi yang harus ditulis tegas minimal pada level undang-undang bukan pada aturan internal parlemen atau Peraturan Tata Tertib. Hal ini sudah ditegaskan dalam Putusan MK tentang pentingnya pembatasan pengaturan masa jabatan oleh lembaga bahwa : Untuk menentukan masa tugas pejabat negara sebagai pejabat publik harus ada kejelasan kapan mulai diangkat dan kapan saat berakhirnya masa tugas bagi yang bersangkutan agar ada jaminan kepastian hukum sesuai dengan kehendak konstitusi (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 49/PUU-VIII/2010). Peraturan Tatib Tidak Dapat Berlaku Surut Norma Pasal 300 ayat (2) UU MD3 memberikan kesan dan penafsiran karena hanya “berlaku dilingkungan internal DPD” seolah-olah memberikan ruang Peraturan Tata Tertib DPD-RI yang berlaku di internal DPD maka tidaklah erga omnes sehingga DPD dapat memberlaku surutkan berdasarkan animo politik bahkan despotism politik seolah menjadi halal. Norma pemberlakuan surut diberlakukan mengakibatkan hilangnya hak atas jabatan Pimpinan DPD-RI, yang sudah bersumpah berdasarkan keadaan hukum yang berbeda dengan keadan hukum peraturan tata tertib baru. Sebagai catatan bahwa meski Peraturan Tatib adalah kewenangan DPD, namun bukan berarti ruang politik bebas hambatan, sehingga koridor konstitusi dan undang-undang bisa ditabrak sesuai kehendak politik mayoritas. Demokrasi kuantitatif harus tunduk pada demokrasi kualitatif, yaitu demokrasi yang berjalan pada rel konstitusi, kedaulatan ditangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar (Pasal 1 ayat (2) UUD 1945), demokrasi yang tunduk pada konstitusionalisme. Ketentuan pemberlakuan surut masa jabatan Pimpinan DPD-RI telah menimbulkan permasalahan hukum, pemotongan masa jabatan 5 tahun hasil paripurna pada awal periode menjadi 2,5 tahun jelas tidak dapat dilaksanakan sehingga melanggar asas dapat dilaksanakan karena telah menimbulkan ketidakpastian hukum dan melanggar hak anggota yang telah memilih dan bersamaan dengan hak dipilih anggota yang terpilih. Oleh karenanya praktek politik ketatanegaraan semakin hari semakin liar, karenanya pagar-pagar pembatas yang jelas dan tegas semakin harus ditulis dalam sistem konstitusionalisme kita. Ketentuan bahwa “Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD pada kenyataannya membutuhkan konfirmasi konstitusional bahwa tata tertib tersebut tidak berlaku surut”. PERMOHONAN PEMERIKSAAN PRIORITAS Mengingat urgensinya perkara a quo, mohon agar Mahkamah Konstitusi yang mulia untuk segera memeriksa dan mengadili permohonan uji materi perkara a quo dikarenakan untuk segera adanya tafsir konstitusional mengenai masa jabatan, laporan kinerja Pimpianan DPD-RI dan pemberlakuan Tata Tertib DPD-RI, sehingga dapat menghindari instabilitas dan kekacauan politik di internal DPD-RI, mengganggu kinerja, tugas dan fungsi DPD-RI, dan segera dapat memberikan kepastian hukum yang adil sebelum dilakukannya paripurna DPD – RI sekitar bulan Maret Tahun 2017 dengan agenda pemilihan kembali pimpinan DPD-RI yang dianggap telah habis masa jabatannya; Petitum Pokok Perkara Berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di atas, maka PARA PEMOHON memohonkan kepada Majelis Hakim Konstitusi yang Terhormat pada Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia untuk memeriksa dan memutus Uji Materil sebagai berikut: 1. Menyatakan Pasal 15 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai :“Pimpinan MPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota MPR dalam satu paket yang bersifat tetap dengan masa jabatan 5 (lima) tahun sebagaimana masa jabatan keanggotaan MPR.” 2. Menyatakan Pasal 84 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai: “Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipilih dari dan oleh anggota DPR dalam satu paket yang bersifat tetap dengan masa jabatan 5 (lima) tahun sebagaimana masa jabatan keanggotaan DPR.” 3. Menyatakan Pasal 260 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai : “Pimpinan DPD terdiri atas 1 (satu) orang ketua dan 2 (dua) orang wakil ketua yang dipilih dari dan oleh anggota DPD dalam sidang paripurna DPD dengan masa jabatan 5 (lima) tahun sebagaimana masa jabatan keanggotaan DPD.” 4.Menyatakan Pasal 300 ayat (2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) adalah sesuai dengan UUD 1945 secara bersyarat (conditionally constitutional), yaitu konstitusional sepanjang dimaknai: “Tata tertib sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku di lingkungan internal DPD dan tidak berlaku surut”;