Senin, 04 Mei 2015

Opini

Revolusi Mental dan Sistem Pendidikan Panca Wardhana
(Refleksi Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2015)
Oleh: Djasarmen Purba.SH
Anggota DPD RI Dapil Provinsi Kepri
Batam Pos, 2 Mei 2015
Pada Pilres yang lalu, pasangan Jokowi dan Jusuf Kalla tampil dengan ide revolusi mental, sebuah ide untuk mengubah cara pandang dan sikap hidup manusia Indonesia dalam menghadapi tantang zaman.
Kutipan tulisan Jokowi ( Calon Presiden) dalam Opini Harian Kompas terbitan tanggal 10 Mei 2014 menyebutkan :  karena reformasi yang dilakukan bangsa ini hanya bertumpu dan ditujukan pada aspek-aspek kelembagaan semata, dan belum menyentuh paradigma, mindset, atau budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).Kita hanya mereformasi aspek-aspek kelembagaan dan sistem bernegara, tetapi lupa merombak mentalitas para penyelenggara sistem ini.Padahal menurut Jokowi, “Sehebat apa pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan”.Itulah sebabnya, bagi Jokowi :“Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu melakukan revolusi mental”.
Mentalitas atau budaya macam apa saja yang harus direvolusi ?Jokowi menyebut sedikitnya 8 (delapan) karakteristik budaya (dalam dua paragrap yang berbeda) yang tumbuh dan berkembang dalam tradisi represif orde baru, yang hingga saat ini masih berlangsung, bahkan beberapa diantaranya memperlihatkan gejala yang semakin merajalela. Kedelapan mentalitas budaya itu adalah :korupsi, intoleransi terhadap perbedaan, sifat rakus, ingin menang sendiri, ingin kaya secara instan, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan hukum, dan sifat oportunis. Kegagalan melakukan perubahan dan memberantas penyakit-penyakit mentalitas budaya ini menurut Jokowi akan mengakibatkan keberhasilan-keberhasilan reformasi yang sudah dicapai lenyap bersama kehancuran bangsa ini. Maka revolusi mental, sekali lagi, adalah pilihan jalan mendesak yang harus segera dilakukan oleh bangsa ini.
Selanjutnya Jokowi menyarankan, bahwa dalam melakukan revolusi mental, mengubah mindset dan memberantas budaya dan praktik-praktik buruk tadi itu bangsa Indonesia dapat menggunakan ajaran Trisakti-nya Bung Karno sebagai dasar pijakan.Sebuah pemikiran yang menghendaki agar bangsa Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan (kepribadian khas Indonesia, tentunya).Revolusi mental ini juga harus didasarkan pada nilai, budaya dan karakter bangsa Indonesia sendiri, tidak dipijakkan pada nilai dan budaya asing yang tidak selamanya dan tidak semuanya cocok bagi bangsa Indonesia.
Pertanyaan kemudian bagaimana ‘Revolusi Mental’ dimaknai ? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Namun kebudayaan disini bukan sekedar dipahami sebagai seni pertunjukan, pameran, kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari.

Pendidikan lewat sekolah merupakan salah satu lokus untuk memulai revolusi mental. Karena itu maka diperlukan adanya penataaan ulang sistem pendidikan Indonesia. Sejak dini anak-anak sekolah harus mengalami proses pedagogis yang membuat etos warga negara ini ‘menubuh’ atau dapat menjadi tindakan sehari-hari.

Cara mendidik perlu diarahkan dari pengetahuan diskursif (discursive knowlegde) ke pengetahuan praktis (practical knowledge). Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran kebiasaan.

Dimasa lalu (tepatnya tahun 1964-1965) usaha untuk menumbuhkan etos warga negara melalui pendidikan di sekolah pernah diupayakan melalui penerapan sistem pendidikan Panca Wardhana, sistem pendidikan yang menekankan pada nation and character building (pembangunan bangsa dan wataknya). Namun sistem ini belum sempat berjalan sepenuhnya karena diinterupsi peristiwa politik berujung pada tersingkirnya presiden Soekarno dari kekuasaan.

Dalam pidatonya tanggal 17 Agustus 1964 yang diberi judul ““Tahun "Vivere Pericoloso" Bung Karno secara tegas menyatakan; "Panca Wardhana memang sistem pendidikan yang telah saya restui. Adapun pengkhususan-pengkhususan dalam melaksanakan sistem itu, ada pengkhususan Panca Dharma, ada pengkhususan Islam, ada pengkhususan Katholik, ada pengkhususan Protestan, ada pengkhususan Buddha, ada pengkhususan Hindu-Bali, ada pengkhususan Panca Cinta, dan sebagainya, hal ini memang diperkenankan, asal dasarnya dan isi moralnya Pancasila. Tidak percuma bahwa lambang nasional kita Bhinneka Tunggal Ika! Aku ingin bahwa dari kebhinneka tunggal-ikaan itu lahir ide-ide, konsepsi-konsepsi, kreasi-kreasi yang hebat sehebat-hebatnya, dan lahir pula putera-putera, patriot-patriot, sarjana-sarjana, seniman-seniman, sasterawan-sasterawan, ahli-ahli, bahkan empu-empu yang bisa dibanggakan.."

Satu tahun kemudian, sistem pendidikan Panca Wardhana diperluas dan disempurnakan menjadi Sapta Usaha Utama, melalui terbitnya Keputusan Presiden No. 1454 Tahun 1965 tentang nama dan rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan pendidikan meliputi (1) Sapta Usaha Tama; (2) Panca Wardhana; (3) Panitia Pembantu. Pemeliharaan Sekolah dan Perkumpulan Orang Tua Murid dan Guru-guru (POMG); (4) Pendidikan Masyarakat; (5) Perguruan Tinggi;

Sistem pendidikannya Panca Wardhana atau sistem lima aspek perkembangan meliputi, yaitu: perkembangan moral, perkembangan inteligensi, perkembangan emosional artistik (rasa keharuan), perkembangan keprigelan, dan perkembangan jasmaniah.
Selanjutnya kelima wardhana tersebut diuraikan menjadi beberapa bahan pelajaran, yakni: 1) Perkembangan moral: PKN, pendidikan agama/budi pekerti. 2) Perkembangan inteligensi: bahasa Indonesia, baahsa daerah, berhitung, dan pengetahuan alamiah, 3) Perkembangan emosional/artistik: seni sastra/musik, seni lukis/rupa, seni tari, dan seni sastra/drama. 4) Perkembangan keprigelan: pertanian/peternakan, industri kecil/pekerjaan tangan koperasi/tabungan, dan keprigelan2 yang lainnya. 5)Perkembangan jasmaniah: pendidikan jasmaniah, pendidikan kesehatan.

Jika presiden Jokowi serius dengan ide revolusi mentalnya, maka salah satu usaha pertama yang perlu dia tempuh adalah perbaikan sistem pendidikan Indonesia dengan mengembalikan sistem pendidikan Panca Wardhana sebagai sistem pendidikan nasional. Sistem pendidikan ini merupakan sistem pendidikan yang dari sejak mula disiapkan oleh pendiri bangsa untuk membentuk mental dan jiwa manusia Indonesia.


Dalam kaitan peringatan hari pendidikan nasional tahun 2015 ini, patut kiranya pemerintah mempertimbangkan untuk mengembalikan dan menerapkan sistem pendidikan Panca Wardhana. Tanpa merubah sistem pendidikan nasional, sulit bagi pemerintahan Jokowi untuk mewujudkan revolusi mental. ***