(Refleksi Hari
Pendidikan Nasional 2 Mei 2015)
Oleh:
Djasarmen Purba.SH
Anggota DPD RI
Dapil Provinsi Kepri
Batam Pos, 2 Mei 2015
Pada Pilres yang lalu, pasangan
Jokowi dan Jusuf Kalla tampil dengan ide revolusi mental, sebuah ide untuk
mengubah cara pandang dan sikap hidup manusia Indonesia dalam menghadapi
tantang zaman.
Kutipan tulisan Jokowi ( Calon Presiden) dalam Opini
Harian Kompas terbitan tanggal 10 Mei 2014 menyebutkan : karena
reformasi yang dilakukan bangsa ini hanya bertumpu dan ditujukan pada
aspek-aspek kelembagaan semata, dan belum menyentuh paradigma, mindset, atau
budaya politik dalam rangka pembangunan bangsa (nation building).Kita hanya
mereformasi aspek-aspek kelembagaan dan sistem bernegara, tetapi lupa merombak
mentalitas para penyelenggara sistem ini.Padahal menurut Jokowi, “Sehebat apa
pun kelembagaan yang kita ciptakan, selama ia ditangani oleh manusia dengan
salah kaprah tidak akan membawa kesejahteraan”.Itulah sebabnya, bagi Jokowi
:“Agar perubahan benar-benar bermakna dan berkesinambungan, dan sesuai dengan
cita-cita Proklamasi Indonesia yang merdeka, adil, dan makmur, kita perlu
melakukan revolusi mental”.
Mentalitas atau
budaya macam apa saja yang harus direvolusi ?Jokowi menyebut sedikitnya 8 (delapan)
karakteristik budaya (dalam dua paragrap yang berbeda) yang tumbuh dan
berkembang dalam tradisi represif orde baru, yang hingga saat ini masih
berlangsung, bahkan beberapa diantaranya memperlihatkan gejala yang semakin
merajalela. Kedelapan mentalitas budaya itu adalah :korupsi, intoleransi
terhadap perbedaan, sifat rakus, ingin menang sendiri, ingin kaya secara
instan, kecenderungan menggunakan kekerasan dalam memecahkan masalah, pelecehan
hukum, dan sifat oportunis. Kegagalan melakukan perubahan dan memberantas
penyakit-penyakit mentalitas budaya ini menurut Jokowi akan mengakibatkan
keberhasilan-keberhasilan reformasi yang sudah dicapai lenyap bersama
kehancuran bangsa ini. Maka revolusi mental, sekali lagi, adalah pilihan jalan
mendesak yang harus segera dilakukan oleh bangsa ini.
Selanjutnya Jokowi menyarankan, bahwa dalam melakukan
revolusi mental, mengubah mindset dan memberantas budaya dan praktik-praktik
buruk tadi itu bangsa Indonesia dapat menggunakan ajaran Trisakti-nya Bung
Karno sebagai dasar pijakan.Sebuah pemikiran yang menghendaki agar bangsa
Indonesia berdaulat secara politik, mandiri secara ekonomi dan berkepribadian
dalam kebudayaan (kepribadian khas Indonesia, tentunya).Revolusi mental ini
juga harus didasarkan pada nilai, budaya dan karakter bangsa Indonesia sendiri,
tidak dipijakkan pada nilai dan budaya asing yang tidak selamanya dan tidak
semuanya cocok bagi bangsa Indonesia.
Pertanyaan kemudian bagaimana ‘Revolusi
Mental’ dimaknai ? Revolusi Mental melibatkan semacam strategi kebudayaan. Namun
kebudayaan disini bukan sekedar dipahami sebagai seni pertunjukan, pameran,
kesenian, tarian, lukisan, atau celoteh tentang moral dan kesadaran, melainkan
sebagai corak/pola cara-berpikir, cara-merasa, dan cara-bertindak yang
terungkap dalam tindakan, praktik dan kebiasaan kita sehari-hari.
Pendidikan lewat sekolah
merupakan salah satu lokus untuk memulai revolusi mental. Karena itu maka
diperlukan adanya penataaan ulang sistem pendidikan Indonesia. Sejak dini anak-anak sekolah harus mengalami proses pedagogis
yang membuat etos warga negara ini ‘menubuh’ atau dapat menjadi tindakan
sehari-hari.
Cara mendidik perlu diarahkan
dari pengetahuan diskursif (discursive knowlegde) ke pengetahuan praktis
(practical knowledge). Artinya, membentuk etos bukanlah pembicaraan teori-teori
etika yang abstrak, tetapi bagaimana membuat teori-teori tersebut memengaruhi
tindakan sehari-hari. Pendidikan diarahkan menuju transformasi di tataran
kebiasaan.
Dimasa lalu (tepatnya tahun
1964-1965) usaha untuk menumbuhkan etos warga negara melalui pendidikan di
sekolah pernah diupayakan melalui penerapan sistem pendidikan Panca Wardhana, sistem
pendidikan yang menekankan pada nation and character building (pembangunan
bangsa dan wataknya). Namun sistem ini belum sempat berjalan sepenuhnya karena
diinterupsi peristiwa politik berujung pada tersingkirnya presiden Soekarno dari
kekuasaan.
Dalam pidatonya tanggal 17
Agustus 1964 yang diberi judul ““Tahun "Vivere Pericoloso" Bung Karno
secara tegas menyatakan; "Panca
Wardhana memang sistem pendidikan yang telah saya restui. Adapun
pengkhususan-pengkhususan dalam melaksanakan sistem itu, ada pengkhususan Panca Dharma, ada pengkhususan Islam, ada pengkhususan Katholik, ada pengkhususan Protestan, ada pengkhususan
Buddha, ada pengkhususan Hindu-Bali, ada pengkhususan Panca Cinta, dan
sebagainya, hal ini memang diperkenankan, asal dasarnya dan isi moralnya
Pancasila. Tidak percuma bahwa lambang nasional kita Bhinneka Tunggal Ika! Aku
ingin bahwa dari kebhinneka tunggal-ikaan itu lahir ide-ide, konsepsi-konsepsi,
kreasi-kreasi yang hebat sehebat-hebatnya, dan lahir pula putera-putera,
patriot-patriot, sarjana-sarjana, seniman-seniman, sasterawan-sasterawan,
ahli-ahli, bahkan empu-empu yang bisa dibanggakan.."
Satu tahun kemudian, sistem
pendidikan Panca Wardhana diperluas dan disempurnakan menjadi Sapta Usaha
Utama, melalui terbitnya Keputusan Presiden No. 1454 Tahun 1965 tentang nama
dan rumusan Induk Sistem Pendidikan Nasional. Penyelenggaraan pendidikan
meliputi (1) Sapta Usaha Tama; (2) Panca Wardhana; (3) Panitia Pembantu.
Pemeliharaan Sekolah dan Perkumpulan Orang Tua Murid dan Guru-guru (POMG); (4)
Pendidikan Masyarakat; (5) Perguruan Tinggi;
Sistem pendidikannya Panca Wardhana atau sistem lima aspek perkembangan meliputi, yaitu:
perkembangan moral, perkembangan inteligensi, perkembangan emosional artistik (rasa keharuan), perkembangan keprigelan, dan perkembangan jasmaniah.
Selanjutnya kelima wardhana tersebut diuraikan menjadi beberapa bahan pelajaran,
yakni: 1) Perkembangan moral: PKN, pendidikan agama/budi pekerti. 2)
Perkembangan inteligensi: bahasa Indonesia, baahsa daerah, berhitung, dan
pengetahuan alamiah, 3) Perkembangan emosional/artistik: seni sastra/musik, seni lukis/rupa, seni tari,
dan seni sastra/drama. 4) Perkembangan keprigelan: pertanian/peternakan,
industri kecil/pekerjaan tangan
koperasi/tabungan, dan keprigelan2 yang lainnya. 5)Perkembangan jasmaniah:
pendidikan jasmaniah, pendidikan kesehatan.
Jika presiden Jokowi serius
dengan ide revolusi mentalnya, maka salah satu usaha pertama yang perlu dia
tempuh adalah perbaikan sistem pendidikan Indonesia dengan mengembalikan sistem pendidikan Panca Wardhana sebagai sistem
pendidikan nasional. Sistem pendidikan ini merupakan sistem pendidikan yang
dari sejak mula disiapkan oleh pendiri bangsa untuk membentuk mental dan jiwa
manusia Indonesia.
Dalam kaitan peringatan hari
pendidikan nasional tahun 2015 ini, patut kiranya pemerintah mempertimbangkan
untuk mengembalikan dan menerapkan sistem pendidikan Panca Wardhana. Tanpa
merubah sistem pendidikan nasional, sulit bagi pemerintahan Jokowi untuk
mewujudkan revolusi mental. ***