Jumat, 03 Februari 2012

OPINI

Masih Adakah Manfaat FTZ BBK?

OLEH: DJASARMEN PURBA, SH



Sudah lebih dari dua tahun status kawasan perdagangan bebas (Free Trade Zone/FTZ) Batam, Bintan dan Karimun (BBK) diberlakukan, sejak 1April 2009. Namun sepanjang waktu itu juga belum tampak perkembangan yang cukup signifikan pada perekonomian daerah ini. Setahun diberlakukan, kinerja perekonomian Kepri tidak sebagaimana mdiharapkan banyak pihak. Meski mencatakan peningkatan pertumbuhan ekonomi dari 3,52 persen (2009) menjadi 7,21 persen tahun selanjutnya (2010). Namun prestasi ini dirasa tidak sebanding dengan berbagai atribut dan keisitimewaan yang dimilikinya. 

Bila dibandingkan daerah lain di Indonesia yang mencatatkan pertumbuhan sama dengan Kepri, namun tidak memiliki fasilitas kemudahan kepabeanan karena tidak berstatus sebagai kawasan perdagangan bebas (FTZ), apa yang dicapai Kepri tidak terlihat ada keistimewaanya. Padahal menurut sejumlah pengamat ekonomi, ketika pertumbuhan ekonomi nasional 6,1 persen tahun 2010, juga pertumbuhan di kawasan Asia yang canpai 7 persen hingga 8 persen, termasuk dua tetangga Kepri (Malaysia dan Singapura), semestinya dengan hanya mengandalkan letak startegisnya (berada tepat di jalur perdagangan dunia, selat Malaka) Kepri dapat mencapai angka pertumbuhan antara 8 hingga 9 persen, sedangkan dengan fasilitas status FTZ bisa berada pada level dua digit (sekitar 10 -11 persen). 

Krisis yang berlangsung di kawasan Amerika di tahun 2008, kemudian meyebar ke eropa yang dimulai dari Yunani, Patrugal, Spanyol terus merambat ke negara-negara lain, belum juga menunjang tanda-tanda pemulihan, bahkan belakangan
semakin meghemat akibat krisis utang yang melanda Amerika Serikat. Kondisi ini menjadi faktor masuknya modal ke kawasan Asia, yang menjadi pendorong utama pertumbuhan Asia. Sayangnya momentum ini tak mampu dimanfaatkan dengan baik. Implementasi FTZ tidak dapat menjadi stimulus untuk melipatgandakan masuknya modal asing ke Batam, Bintan dan Karimun.

Regionalisasi
Pada sisi lain fenomena regionalisasi yang ditandainya munculnya integrasi perekonomian dalam satu kawasan seperti AFTA (Asean Free Trade Area), Nafta (North Amerika Free Trade Area) dan berbagai kawasan lain, atau pun perjanjian perdagangan bebas (Free Trade Agreement) seperti ACFTA, IJEPA, ANZ FTA dan lainlain, lainlain, telah telah mendorong perekonomian dunia mengalami degradasi dan membentuk pola baru. Konsep kawasan perdagangan bebas yang pada mulanya bertujuan untuk melokalisir masuknya komoditi luar pada wilayah tertentu (proteksi), di era perdagangan bebas seperti sekarang, dimana segala bentuk hambatan perdagangan ini dieliminasi sedemikian rupa, menjadi kurang relevan lagi. Dalam kawasan FTZ masih terdapat hambatan perdagangan, sekurangkurangnya pada prosedur pemasukan barang dari luar. Sementara daerah lain , di wilayah Indonesia hal semacam ini perlahan-lahan mulai tereliminasi akibat perjanjian perdagangan bebas. 

Menurut ekonom Faisal Basri pemberlakuan FTZ justru merugikan daerah itu sendiri. Mengingat pemaknaan FTZ oleh pemerintah pusat adalah penyediaan kemudahan dalam kepabeanan dan kelonggaran perpajakan, disamping fasilitas infrastrukutur dan perijinan investasi lainnya dalam kawasam yang terpisah dari daerah pabean. Dengan kata lain FTZ bukanlah kawasan daerah yang bebas sepenuhnya, sebab itu dalamnya tetap diberlakukan tata niaga impor . Namun bagi masyarakat BBK apa yang disebut terpisah dari daerah pabean dalam Perppu No 1 Tahun 2000 Kawasan Perdagangan Bebas dan Pelabuhan Bebas adalah bebas dari pengenaan bea masuk, pajak pertambahan nilai, pajak penjualan atas barang mewah, dan cukai dan sebagainya.

Ambivalensi Pusat
Menurut hemat penulis perdebatan soal kata ”terpisah dari daerah pabean” berangkat dari pendekatan yang berbeda. Pusat mendekati BBK dalam  kerangka pengembangan kawasan industri, sementara daerah melihat dari aspek perdagangan. Bagi pusat perdagangan merupakan bagian dari program pengembangan industri, bukan sebaliknya. Pemerintah pusat tampaknya tengah berusaha mengembalikan konsep awal BBK seperti  yang digagas oleh mantan presiden B.J Habibie yakni menjadikannya kawasan industri termegah di Asia tenggara, dan dapat menyaingin Singapura, melalui konsep bonded zone (Kawasan Berikat) Namun mungkinkah menerapkan konsep bonded zone ketika dalam kawasan antara penduduk dan industri bercampur baur seperti di Batam ? Mungkin saja. Tetapi itu membutuhkan dana yang tidak kecil, karena harus melakukan relokasi penduduk. Agaknya di sinilah kesalahannya.  

Sikap ambivalensi pemerintah pusat, yakni memberikan status FTZ, namun menerapkan konsep bonded, akibatnya kinerja Batam tidak mampu memuaskan sebagian pihak bahkan kehadiran FTZ kurang dirasa manfaatnya oleh masyarakat, BBK kini seperti berjalan dilorong gelap yang panjang dan tak berujung. Selama pemerintah pusat setengah hati melaksanakan kebijakan FTZ, maka  selama itu pula BBK akan terjebak dalam lorong gelap tanpa pernah tau kapan bisa keluar. Kemanfaatan dan kemajuan FTZ BBK hanya bisa terwujud bila pemerintah pusatn rela melaksanakan konsep FTZ sesungguhnya, seperti didefinisikan World Bank ; fenced-in industrial estates specializing in manufacturing for export and offering their resident firms free-trade conditions and a liberal regulatory environment Batam Pos Jumat 12 Agustus 2011 (halaman 4).***